Abstrak dan Bio
Keynote
Speaker
Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum., Institut
Kesenian Jakarta
Judul: Kritik Esensialis dan Kajian Konstruktivis
Bio:
Kelahiran Boston – Amerika Serikat, 19 Juni
1958, saat ini menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Periode
2016 – 2020. Menamatkan S1 di Fakultas Film dan Televisi - Institut Kesenian
Jakarta tahun 1994, S2 Fakultas Ilmu Budaya (Program Studi Filsafat) di
Universitas Indonesia tahun 2001 dan memperoleh gelar Doktor dari Fakultas Ilmu
Budaya (Program Studi Susastra) - Universitas Indonesia pada tahun 2005. Masih
aktif mengajar di Fakultas Film dan Televisi, Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian
Jakarta dan Fakultas Ilmu Budaya - Universitas Indonesia. Menjadi nara sumber
dalam kegiatan seminar, diskusi dan kuliah umum di sejumlah kampus, organisasi
sosial serta beberapa komunitas seni dan budaya di Indonesia. Seno juga sering terlibat sebagai juri di
beberapa festival film yang diselenggarakan di dalam dan luar negeri.
Selain mengajar, beliau juga aktif sebagai
jurnalis di beberapa media cetak nasional seperti Harian Kompas, Koran Tempo
dan Majalah Tempo serta PanaJournal.com. Sejumlah esai dan artikel telah
dihasilkannya, terbit dalam buku karya ilmiah dan buku ilmiah popular. Menerima
Penghargaan Sastra Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun
2013.
Panel
1. Praktik Film & Film sebagai Praktik
1. Zaki Habibi, Lunds Universitet dan Universitas
Islam Indonesia
Menelaah
Film melalui “Media Practice”: Sebuah Tawaran Teoretis
Abstrak
Makalah ini berangkat dari fokus telaah
pada praktik (practice) di dalam memahami gejala sosial dan budaya, termasuk
film dalam keseharian. Gagasan ini merupakan sebuah tawaran teoretis guna
melengkapi dan mengkritisi pandangan selama ini dalam kajian film – sebagai
media. Telaah film selama ini umumnya menafikan praktik dan lebih berfokus
untuk mengurai struktur (termasuk di dalamnya teks), sistem, individu, atau
interaksi. Presentasi dari makalah ini sendiri bersumber pada dua manuskrip
artikel yang penulis susun, masing-masing berjudul “Theorising media practice
within cultural studies framework” dan “Book, crafts, and vintage suitcase: The
everyday creativity and media practice in an urban collective”.
Alih-alih terperosok pada apa yang penulis
sebut sebagai ‘jebakan perdebatan disiplin’, terutama antara dua kutub pandangan:
praktik berorientasi media (media-oriented practice) dan praktik terkait media
(media-related practice) (lihat misal, Couldry 2010; Hobart 2006, 2010),
proposal gagasan ini berusaha menawarkan lokus perhatian yang berbeda. Yakni,
pada sejumlah proposisi pokok dari media practice yang dapat menginspirasi
pengkaji film dalam menyusun rancangan penelitiannya. Salah satu proposisi itu
di antaranya berguna untuk meletakkan film dalam bingkai keseharian (everyday
life) di samping dua ranah lainnya, meminjam ungkapan Postill (2010), yaitu
produksi media serta media dan tubuh. Dari sini kerangka teoretis yang
mengombinasikan antara praktik terkait (media) film dengan konsep ‘taktik’ dan
‘strategi’ dari teori keseharian dapat dibangun sebagai salah satu alternatif
untuk menelaah film lebih komprehensif sekaligus kian sesuai dengan konteks
sosial dan kultural yang melingkupinya.
KATA KUNCI: Praktik, praktik terkait media,
film dalam keseharian, teori keseharian, taktik, strategi.
Bio:
ZAKI HABIBI adalah peneliti di bidang
kajian media dan budaya visual. Sejak Maret 2016 ia bekerja di Institutionen
för kommunikation och medier, Lunds Universitet, Swedia, seiring dengan riset
doktoralnya yang bertajuk “Mediated Urban Creativity in Contemporary Southeast
Asian Cities”. Sebelum tinggal di Lund, ia bekerja sebagai dosen di Program
Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Zaki juga
beberapa kali terlibat dalam penyelenggaraan Jogja-NETPAC Asian Film Festival
(JAFF) sebagai Co-Publicist (2006, 2007) dan Koordinator Program Seminar dan
Workshop (2009, 2013). Selain itu, ia menekuni foto dokumenter dan telah
menyelesaikan beberapa projek, salah satunya “Abandoned and Beyond
(Terbengkalai dan Selebihnya)” yang dipamerkan pada 2015. Daftar publikasi
akademiknya dapat ditengok di laman berikut:
https://lu.academia.edu/ZakiHabibi.
2. Tito Imanda, Goldsmiths, University of London
Email: t.imanda@gold.ac.uk, imanda@gmail.com
Membuat
Film Mistis dan Mistis Membuat Film: Praktik Kolaborasi Bersama Kelompok Wayang
Orang di Kaki Gunung Merapi
Abstrak
Makalah ini merangkum sebuah studi doktoral
kekaryaan kolaboratif. Tujuannya menghasilkan sebuah film yang pembuatan dan
pemutarannya bisa menggantikan ritual seni pertunjukan dari sebuah kampung
petani yang menggunakan seni pertunjukan untuk melakukan ritual keselamatan dan
ritual pertanian. Disertasi ini melakukan studi praktik, dengan membuat
workshop film dan memproduksi beberapa film yang keputusan estetikanya
dihasilkan oleh para seniman tradisional ini. Ada beberapa bentuk kajian yang
dilakukan menuju ke hasil akhir yang diinginkan. Kajian pertama tentu adalah
etnografi untuk memahami seniman tradisional dari desa, para kolaborator
pembuatan film-film ini. Berikutnya adalah kajian praktik kolaborasi film
antara akademisi / pembuat film dari kota dengan para seniman tradisional dari
desa ini. Selanjutnya adalah kajian praktik yang melihat proses seniman
panggung tradisional melakukan adaptasi pertunjukan panggung menjadi film. Lalu
menyusul kajian estetika film, yang hasilnya diharapkan juga bisa mendapatkan
gambaran dan rekonstruksi estetika sinema awal di Indonesia melalui kajian
bentuk dan gaya (form and style) dari film-film di atas. Terjawabnya kajian-kajian
di atas melengkapi bahan bakar untuk pembuatan film terakhir, dan menjawab
pertanyaan: bagaimana aspek ritual dari pertunjukan panggung yang khas dalam
kelompok ini bisa muncul ke dalam bentuk film?
Kata kunci: Praktik Film, Film Tari,
Estetika Film, Representasi
Bio:
Tito Imanda adalah antropolog dan pembuat
film. Tesis masternya di Departemen Media, Culture and Communications, New York
University (2007) membahas faktor ekonomi politik industri film Indonesia.
Tahun 2008-2013 dia membangun dan mengelola sekolah film baru di sebuah
universitas di Jakarta. Saat ini dia melewatkan sebagian besar waktunya di
Jogja dan London, menyelesaikan program doktor di Departemen Media and Communications, Goldsmiths,
University of London. Tesis doktornya berfokus pada kolaborasi pembuatan film
dengan kelompok wayang orang di kaki gunung Merapi, sebagai bagian dari
pemahaman adaptasi orang panggung ke layar yang terjadi pada era awal
kemunculan film di berbagai tempat di dunia.
3. Sys W, Komunitas Film Tasikmalaya
Email: butuhspasi@ymail.com
Dongeng
Pasar: Pergerakan Film di Priangan Timur, dan Analisa Soundscape di Pasar
Tradisional dalam Film Staartster
Abstrak
Film berjudul Staartster dibuat berdasarkan riset hasil kerjasama salah satu
mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Staartster diambil dari bahasa Belanda
yang artinya bintang ber(ekor) cahaya atau disebut bintang kukus oleh
masyarakat Sunda. Dalam kamus RA Danadibrata, terdapat sub-entry bintang kukus yaitu sagundukan
béntang gedé-leutik anu témbongna ti bumi siga aya buntut centik
(sekumpulan bintang besar dan kecil yang terlihat dari bumi seperti berekor
cahaya) dimana kehadirannya tidak lagi berada di batas terluar semesta tapi
mewujud pada karya anak muda di Priangan Timur dan keberadaan pasar tradisional
dalam kepungan pasar modern yang dihadapkan pada dua pilihan; menjadi terang
atau redup.
Dalam Buku Ear Cleaning, Murray Schafer mendefinisikan soundscape berasal dari dua impresi kata, yaitu sound dan scape; sound artinya
suara, sedangkan scape singkatan dari
landscape, artinya pemandangan. Kata sound apabila ditambah scape menjadi soundscape, artinya pemandangan berupa suara atau bunyi. Melalui
pendekatan inilah, film Staartster
mengajak penonton bertamasya bunyi, dikolaborasikan dengan bahasa visual untuk
menyingkap keberpihakan pemerintah terhadap nasib pasar tradisional.
Keberpihakan yang dianalogikan seperti sebuah dongeng, disertai alegori bunga
sebagai ungkapan bisu dari perasaan manusia. Sebelum kutukan berakhir dalam
kelopak bunga yang gugur, seorang harus mencintai pasar tradisional setulus
hati untuk melengkapi kemampuan medium film mampu merubah dongeng menjadi
kenyataan.
Kata Kunci: Film, Soundscape, Pasar Tradisional
Bio:
Sys w, pegiat komunitas yang tinggal di
kota Tasikmalaya. Pernah aktif di Kampung Halaman Jogjakarta, Satu Nama
Jogjakarta, Founder Kofita (komuitas film tasikmalaya) dan Balaka
Sinematograpi, pernah bekerja dalam kajian sejarah lokal Soekapoera Institute,
sekarang bekerja sebagai Piar digital marketing, dan menyibukan diri dalam
kegiatan literasi.
Panel
2. Panel 2. Praktik Dokumenter
4. Renta
Vulkanita Hasan, Romdhi Fatkhur Rozi, Universitas Jember
Email: voelca@gmail.com
Para
Harimau Yang Menolak Punah: Estetika Dokumenter Televisi di Era Pasca Reformasi
Abstrak
Para Harimau Yang Menolak Punah (Imanda Dea
Sabiella dan Edho Cahya Kusuma, 2013) merupakan judul dokumenter televisi
produksi Eagle Institute dengan ciri filmis berupa paduan antara gambar dan
tuturan (wawancara). Dokumenter televisi ini menarik untuk diteliti dalam
konteks kontinuitas dan perubahan estetika dokumenter televisi, dalam kurun era
pasca reformasi dengan era orde baru sebagai pembanding. Jika pada masa orde
baru, kampanye pelestarian lingkungan melalui media dokumenter notabene
diproduksi oleh pemerintah melalui estetika sinematik yang bersifat
propagandis, maka saat ini dokumenter televisi produksi Eagle Institute justru
menggunakan estetika sinematik yang kritis sebagai konter bagi pemerintah.
Fakta dan fiksi (faksi) menjadi istilah yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai bentuk kontinuitas dan perubahan dokumenter televisi Indonesia. Alasan
pemilihan istilah ini adalah dunia fenomenal dalam banyak kasus, seperti yang
terlihat dalam dokumenter, seakan berbeda dari "dunia nyata",
meskipun dalam kenyataannya rekaman itu berasal dari “dunia nyata/realitas”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan film kognitif untuk mengamati sejauh mana
Faksi beroperasi sebagai media kritik yang secara estetis merangkai dokumenter
tersebut. Struktur mental digunakan untuk menjelaskan Faksi melalui petunjuk
filmis hingga diperoleh kesimpulan tentang kritik yang ingin disampaikan
melalui dokumenter.
Kata kunci: estetika, dokumenter, televisi,
faksi.
Bio:
Renta Vulkanita Hasan (Rere), anggota
KAFEIN. Tinggal di Magelang. Menyelesaikan pendidikan S1 di ISI Yogyakarta dan
S2 di Universitas Gadjah Mada. Sejak 2010, aktif mengajar di Prodi S1 Televisi
dan Film, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Fokus di bidang kajian
dokumenter, khususnya dokumenter era pascakolonial. Saat ini, sedang
menyelesaikan penulisan disertasi pada program studi S3 Pengkajian Seni
Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, dengan
topik riset tentang klaim kebenaran filmis dokumenter. Selain itu, saat ini
sedang merancang dua konsep karya dokumenter performatif, berjudul “Eyeg” dan
“Kliwon”, performativitas tentang kehidupan sehari-hari di suatu desa di
Magelang.
Romdhi Fatkhur Rozi lulus dari program sarjana FISIP Universitas Jember dan melanjutkan studi magister Media Komunikasi di Universitas Airlangga. Mendirikan komunitas Jember Photography pada tahun 2008. Menjadi penulis naskah dan sutradara film dokumenter ‘Dari Kopi Sampai Ngopi’ (2013). Sejak 2011, aktif mengajar di Prodi S1 Televisi dan Film, Universitas Jember. Fokus pada bidang kajian media dan komunikasi. Aktif memproduksi karya audiovisual untuk profil, video klip dll, saat ini sedang memperdalam teknik penciptaan lagu dan aransemen musik untuk kebutuhan pribadi maupun original soundtrack.
Romdhi Fatkhur Rozi lulus dari program sarjana FISIP Universitas Jember dan melanjutkan studi magister Media Komunikasi di Universitas Airlangga. Mendirikan komunitas Jember Photography pada tahun 2008. Menjadi penulis naskah dan sutradara film dokumenter ‘Dari Kopi Sampai Ngopi’ (2013). Sejak 2011, aktif mengajar di Prodi S1 Televisi dan Film, Universitas Jember. Fokus pada bidang kajian media dan komunikasi. Aktif memproduksi karya audiovisual untuk profil, video klip dll, saat ini sedang memperdalam teknik penciptaan lagu dan aransemen musik untuk kebutuhan pribadi maupun original soundtrack.
5. Rhino Ariefiansyah, Universitas Indonesia
Email: rhinoariefiansyah@ui.ac.id,
rhino.ariefiansyah@gmail.com
Alea:
Sebuah Narasi Bisu Tentang Bencana
Abstrak
Sebagai negeri yang rawan bencana, Indonesia perlu
memaksimalkan segala daya untuk memahami dan menanggulangi akibat-akibat
kebencanaan. Bagaimana film bisa bercerita tentang bencana secara konstruktif
dan lebih jauh lagi, berkontribusi dalam upaya penyembuhan trauma penyintasnya?
Alea adalah sebuah eksperimentasi visual yang menggali kemungkinan-kemungkinan
ini, hasil kolaborasi Rhino Ariefiansyah (antropolog) dengan Marie Velardi
(artis) tentang kenangan orang-orang yang pernah tinggal di daerah bencana,
mimpi-mimpi mereka tentang tempat tinggal dan kejadian bencana dan bagaimana
mereka melanjutkan hidup di tempat tinggal baru yang asing. Film ini adalah
upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan berturur visual dengan melibatkan metode
penelitian etnografis dan upaya-upaya kreatif. Dengan kata lain, film ini
adalah upaya untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk etnografi visual dalam
menggambarkan relasi manusia dengan alam.
Badai Xynthia
menghantam wilayah pesisir Vandee di bagian barat Prancis pada suatu dinihari
di bulan Februari tahun 2010. Badai tersebut menewaskan 29 orang di sebuah area
pemukiman di commune La-Faute-Sur-Mer. Sebagian besar korban
adalah orang tua dan anak-anak yang tidak mampu bertahan melawan arus air yang
kuat dan suhu yang dingin. Film ini menggabungkan visualiasi lanskap daerah
bencana dengan teks dari hasil wawancara dalam satu narasi visual bisu. Paruh
pertama film adalah visualisasi narasi para penyintas bencana tentang tempat
tinggal mereka yang sekarang sudah rata dengan tanah. Bagian kedua adalah
narasi spekulatif dari pembuat film tentang apa yang mungkin terjadi di masa
yang akan datang. Makalah ini ingin mendiskusikan pilihan-pilihan yang dimiliki
oleh pembuat film dokumenter Indonesia untuk membuat representasi visual
mengenai peristiwa bencana dan upaya rehabilitasi para penyintasnya.
Bio:
Rhino
Ariefiansyah merupakan Dosen dan peneliti pada Departemen Antropologi Universitas
Indonesia. Lulus dari program master experimentasi art & politic (SPEAP) di SciencesPo. Paris, pada tahun 2014,
dengan beasiswa dari Pemerintah Prancis. Minat kajiannya adalah ekologi
manusia, isu-isu migrasi, dan penggunaan
media visual, terutama video dalam praktik etnografi. Irisan dari minat-minat
ini membawa dia ke festival, konferensi, dan pertemuan-pertemuan lokal dan
regional terkait dengan isu-isu identitas dalam perpindahan ruang manusia,
terutama yang bisa ditangkap dan disajikan dengan bahasa audio visual. Saat
tidak mengajar atau melakukan penelitian di lapangan, Ariefiansyah menghabiskan
waktu di depan komputer menyunting gambar-gambar filmnya dan bermain bersama
anak perempuannya.
6. Panji
Wibowo, Institut Kesenian Jakarta
Email: panji.wibowo@gmail.com
Pendeteritorialisasian
Bangsa: Sudut Pandang Deleuzian atas Ruang dan Identitas dalam Film Ketika
Badai Pergi
Abstrak
Film dokumenter Ketika Badai Pergi (Panji
Wibowo, 2017) berlatar konflik Maluku atau ‘perang sipil’ sepanjang tahun
1999-2004. Film ini merupakan jahitan kesaksian delapan penyintas dan dua
aktifis perdamaian seputar konflik Maluku 1999-2004. Kesaksian mereka
berkelindan dengan penjelasan tentang tradisi Pela dan Gandong dari empat orang
narasumber ahli. Pela merupakan ikatan persaudaraan yang dilakukan melalui
perjanjian antara dua atau lebih desa, perjanjian untuk mengikat tali
persaudaraan, saling bantu dan saling melindungi. Sementara Gandong, yang juga berarti kandung, merupakan
sesuatu yang genetis. Ketika nenek-moyang mereka (sekandung) terpisah karena
perang atau bencana alam kemudian anak keturunannya yang telah menempati desa
berbeda mulai saling mencari. Satu desa dapat saja memiliki lebih dari satu
pela dan gandong.
Kerusuhan yang menelan demikian banyak
korban, dimana sebagian penyintas tidak dapat kembali lagi ke
desanya—terdeteritorialisasi. Konflik tersebut juga memaksa orang Maluku untuk
merumuskan kembali siapa ‘diri’ nya—identitas. Tulisan ini akan mengkaji Maluku
pasca kerusuhan sebagaimana yang digambarkan dalam film tersebut menggunakan
perspektif Deleuzian, utamanya gagasan yang termuat dalam buku Cinema 2, The
Time-Image (TI) menyangkut ‘sinema politik modern’ (Deleuze, 2008, 209) dan
‘sinema baru’ (TI, 43) juga dari buku Cinema 1, The Movement Image (MI) yang
membahas tentang “kesadaran dari minoritas baru” (MI, 210-211). Sudut pandang
yang mengkonstitusikan arah sinema sebagaimana yang ia percaya bahwa sinema
akan memproduksi imaji-imaji baru yang melampaui naratif Hollywood klasik:
“...imaji baru ini bukan merupakan penyempurnaan sinema, melainkan sebuah
mutasi dari padanya” (MI, 219).
Bio:
Panji Wibowo adalah sutradara lepas dan
mengerjakan berbagai program audio-visual; TV Program, Music Video, dokumenter,
Iklan, film, corporate profile, dan
lain-lain. Dia juga aktif dalam bidang
penulisan kreatif , film training, kritik film dan penyutradaraan film dan dokumenter.
Sejak 2013 dia mengelola “Ideogram, Melukis Gagasan”, sebuah rumah kreatif yang berfokus dalam
pengembangan bahasa film, literasi visual, workshop,
pelatihan film dan produksi film. Saat ini banyak menjadi juri festival,
instruktur pelatihan, narasumber, dan menjadi koordinator pembuatan modul workshop penyutradaraan di seluruh
Indonesia bersama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Panel
3. Film, Identitas dan Kelas Sosial
7. Sazkia
Noor Anggraini, Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Email: sazkia.na@gmail.com
Kajian
Naratif atas Gagasan Nasionalisme dalam Film-film Usmar Ismail Era 1950-an
Abstrak
Penelitian ini berangkat dari klaim bahwa
film-film sebelum Darah dan Doa
(1950) tidak didasari oleh sebuah kesadaran nasional dan oleh karenanya tidak
bisa disebut sebagai film Indonesia. Klaim ini perlu dipertanyakan karena punya
tendensi akan pengertian sempit etno nasionalis yang keluar dari elite budaya
Indonesia. Penelitian ini mencoba membangun argumen secara kritis dengan
memeriksa kembali gagasan nasionalisme yang dianggap sebagai ideologi penting
dalam film-film Usmar Ismail pada era 1950-an. Gagasan nasionalisme kebangsaan
oleh Benedict Anderson digunakan sebagai konsep kerja utama dalam membedah
naratif pada film Darah dan Doa, Lewat
Djam Malam (1954), dan Tamu Agung
(1955). Caranya adalah dengan menguraikan temuan dalam syuzhet film dengan menjabarkan fabula-nya.
Kemudian menganalisisnya dengan cara mengidentifikasi liyan untuk menuntun penalaran penonton sebagai komunitas terbayang
dalam elemen naratif yang dominan, yakni : dialog, adegan dan narasi. Proses
ini akan menemukan konstruksi logika naratif dengan kecenderungan para
tokoh-tokoh utama pada afiliasi tertentu. Telaah naratif dalam penelitian ini
ternyata gagal menemukan kesamaan ciri nasionalisme kebangsaan, malah sangat
bertentangan. Semua karakter dalam film yang menuntun penonton untuk menemukan
lanskap pemahaman sebagai bangsa justru gagal bekerja dalam proyek bersama demi
kedaulatan. Temuan ini berarti, klaim ‘nilai nasionalisme’ yang ditempelkan
pada film-film Usmar perlu diluruskan, terutama jika dilihat dari bentuk
naratifnya. Meski demikian, secara substansial film-film yang dibuat pada
konteks awal kemerdekaan itu merupakan manifestasi pesan representasi politis
di mana bangsa harus terus-menerus bekerja bersama dalam common project demi cita-cita kedaulatan yang tidak sebatas
terbebas dari kolonialisme, tetapi juga isu-isu relevan di masa kini dan nanti
yang punya potensi memecah belah bangsa.
Bio:
Sazkia Noor Anggraini adalah lulusan dari
Departemen Antropologi, Universitas Gadjah Mada (2008) dan Jurusan Televisi,
Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2012). Sejak 2007 hingga 2012, terlibat
dalam kerja video partisipatif dan penelitian etnografi. Ia baru mulai meneliti
film sejak 2013 saat mengambil master bidang kajian film di Pascasarjana
Institut Seni Indonesia. Beberapa hasil penelitiannya pernah dipresentasikan
dalam International Conference for Asia Pacific Arts Studies (ICAPAS) pada 2013
& 2015 serta Bienalle Equator International Symposium 2014. Minat kajiannya
seputaran arsip film nasional, film pascakolonial, kajian naratif dan visual
etnografi. Hingga sekarang, ia menjadi tenaga pengajar paruh waktu di bidang
penulisan naskah dan dokumenter pada Jurusan Televisi dan Film, ISI Yogyakarta
dan Akademi Radya Binatama (AKRB).
8. Mundi Rahayu, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: mundi_rahayu@yahoo.com
Citra
dan Identitas Muslim Indonesia Kontemporer dalam Film-Film Bertema Islam
Abstrak
Dalam berbagai penelitian, film yang banyak
dikonsumsi masyarakat modern, mengemban peran-peran penting di antaranya adalah
bahwa film mampu merefleksikan
kegelisahan dan keinginan penontonnya, serta mengekspresikan
persoalan-persoalan penting yang dihadapi manusia (Miles, 1996: x). Lebih
dari sekedar media hiburan, Joel Martin
dan Conrad Ostwalt (1995) menegaskan bahwa film mempunyai potensi untuk
memperkuat, menantang, menjungkirbalikkan atau mengkristalkan suatu perspektif
agama, asumsi ideologis dan nilai-nilai dasar yang selama ini kita yakini
(Martin and Ostwalt, 1995: vii). Di Indonesia setelah reformasi, film-film
bertema Islam banyak diproduksi, terutama setelah suksesnya film Ayat-ayat
Cinta (2008). Film-film bertema Islam ini misalnya, film “99 Cahaya di Langit
Eropa (1 dan 2)”, “Assalamualaikum Beijing”, “Jilbab Traveler”, “Surga yang Tak
Dirindukan” dan lain sebagainya. Ada berbagai isu menarik seputar identitas dan
citra Muslim yang digambarkan dalam
fim-film ini. Paper ini akan memaparkan bagaimana identitas dan citra Muslim
kontemporer direpresentasikan di dalam fim-film bertema Islam tersebut. Wacana apa sajakah yang direpresentasikan
dalam film-film bertema Islam tersebut dan persoalan apa yang ingin
disuarakan tentang Muslim dan Muslimah
dalam film-film tersebut. Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis
(CDA Fairclough), dengan mengamati lima film yang di sebutkan di atas sebagai
obyek kajian.
Bio:
Dr. Mundi Rahayu, lulus dari Kajian Budaya
dan Media UGM 2015, minat riset di bidang kajian sastra,budaya dan media
(termasuk film). Sekarang mengajar di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Humaniora
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
9. Shadia
Pradsmadji, Universitas Bina Nusantara
Email: shadia.1993@live.com
Representasi
Pendidikan dalam Film Laskar Pelangi dan Di Timur Matahari
Abstrak
Makalah ini akan membahas bagaimana film Laskar Pelangi (2008)
karya Riri Riza dan Di Timur Matahari (2012) karya Ari Sihasale merepresentasikan
pendidikan sebagai metode yang penting untuk memperbaiki nasib diri dan
membangun masyarakat yang lebih baik melalui caranya masing-masing. Laskar
Pelangi memperlihatkan kesenjangan pendidikan yang dialami oleh anak-anak SD
Muhammadiyah Gantong di Belitong dan bagaimana anak-anak tersebut
memperjuangkan keberadaan sekolah tersebut agar terus bisa mengakses pendidikan
formal. Sementara itu, Di Timur Matahari memperlihatkan kesenjangan pendidikan
yang terjadi di pedalaman Papua, di mana dalam konteks film ini, ketidakadaan
pendidikan formal membuat anak-anak di sana harus mencari cara-cara alternatif
untuk bisa belajar. Analisis akan dititikberatkan pada naratif untuk melihat
bagaimana kedua film ini memiliki kesamaan konteks terkait pendidikan pada
masyarakat di kedua film tersebut, namun adanya perbedaan cara
merepresentasikan pendidikan membuat kedua film juga memiliki jalan cerita dan
resolusi yang jauh bertolak belakang.
Bio
Alumnus jurusan film dari Universitas Bina
Nusantara. Saat ini bekerja sebagai Scheduling and On Air Promotion Coordinator
untuk FLIK, sebuah stasiun televisi Indonesia berbayar yang khusus menayangkan
film-film Indonesia dalam kualitas high definition. Juga aktif sebagai redaksi
dan staf media sosial untuk Cinema Poetica, sebuah media online kajian dan
kritik film. Di waktu senggang senang mendengarkan musik, selain juga menonton
film.
10. IGAK Satrya Wibawa, Curtin University dan Universitas Airlangga
Anak-anak,
Narasi Kepahlawanan dan Trauma Nasionalisme dalam Film Djenderal Kantjil (1958)
Abstrak
Sejak film fiksi
pertama di Indonesia diproduksi tahun 1926, banyak film telah dengan sengaja
menggambarkan anak-anak untuk mengartikulasikan pesan sosial dan politik. Imaji
sosok anak-anak yang dikonstruksi sebagai sosok tanpa dosa membuat mereka
dipilih untuk mendiskusikan isu-isu kontemporer dalam dinamika sosial politik
Indonesia (Kittley, 1999; Strassler, 1999; Spyer, 2004; Wibawa, 2008; Allen,
2011). Film Indonesia paska kolonial banyak diproduksi dalam tema-tema
kepahlawanan. Narasi kepahlawan klasik di Indonesia diarahkan pada aspek
kemiliteran yang terinspirasi dari cerita-cerita klasik pewayangan (Wessel,
1996). Termasuk beberapa film yang tercatat menampilkan tokoh anak-anak dalam
narasi utamanya. Film Djenderal Kantjil
yang diproduksi tahun 1958 adalah film dengan tokoh anak-anak dengan tema
kepahlawanan yang tercatat sukses meraup penonton (Kristanto, 2005) Makalah ini
akan mengeksplorasi bagaimana tokoh anak-anak direpresentasikan dalam narasi
kepahlawanan dalam film Djenderal Kantjil. Argumentasi dalam makalah ini adalah
tokoh anak-anak dipergunakan untuk merefleksikan trauma nasionalisme dalam
narasi kepahlawanan dalam film Djenderal Kantjil.
Kata kunci:
Anak-anak, Film Indonesia, Representasi, Kepahlawanan, Trauma Nasionalisme
Bio:
I Gusti Agung Ketut Satrya Wibawa, atau
lebih akrab dipanggil Igak Satrya, adalah salah satu staf pengajar di
Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Surabaya Jawa Timur
Indonesia. Minatnya pada dunia sinema dan kreatif membuat dia aktif pada
organisasi maupun aktivitas yang terkait dunia sinema dan kreatif. Dia menjadi
salah satu pendiri independen Film Surabaya, satu dari sedikit wadah penggemar
sinema di jawa Timur pada tahun 2000-an. Bidang ajar dan bidang riset yang
ditekuninya juga berkisar pada dunia sinema, terutama mengenai anak-anak dalam
sinema. Saat ini, dia sedang tertarik dengan riset yang mengkombinasikan kajian
sinema, internet dan jurnalistik. Saat ini sedang menempuh pendidikan doctoral
di School of Media. Cultures and Creative Arts di Curtin University, perth
Australia atas beasiswa dari Curtin University.
Dia menempuh studi master-nya di Curtin University pada tahun 2006-2008.
Panel
4. Representasi Perempuan dalam Film
11. Lalita
Hanief, Universitas Lambung Mangkurat
Email:
afiqalita@yahoo.co.id
Representasi
Wanita dan Gender Pada Film Bilur-Bilur Penyesalan (1987)
Abstrak
Film adalah karya seni yang dibuat
berdasarkan kaidah sinematografi dalam bentuk audio visual. Film Bilur-bilur
Penyesalan diproduksi tahun 1987 dengan genre drama. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui representasi wanita dan gender pada film Bilur-Bilur
Penyesalan. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi, dokumentasi
dan studi literatur. Teknik analisa data berupa menggunakan analisis isi
kualitatif dengan cara reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan
triangulasi data. Hasil studi menemukan bahwa representasi wanita dan
ketidakadilan dalam gender dalam film Bilur-Bilur Penyesalan menunjukan: 1.
marginalisasi anak perempuan oleh ayahnya saat hubungan dengan pria pilihannya
tidak direstui. 2.Gender dan subordinasi tidak nampak karena Mitha bekerja
sebagai pengacara dan membela terduga kasus pelecehan dalam persidangan.
3.Gender dan stereotip dalam film ini ada pada figuran wanita yang mengalami
pelecehan di diskotik, wanita minum alkohol dianggap nakal dan lemah sehingga
bisa dilecehkan. 4.Gender dan kekerasan nampak pada scene mitha diusir sang
ayah karena hamil di luar nikah dan pada scene figuran wanita yang dilecehkan
di diskotik. 5. Gender dan beban kerja tidak bias karena mitha bekerja sebagai
seorang pengacara dan memiliki karir bagus.
Kata kunci: Film, Gender, Representasi
Wanita
Bio:
Penulis adalah dosen di Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas Lambung Mangkurat. Penulis lahir di Bandung, 12 Juli
1987. Prestasi yang pernah diraih saat dibangku kuliah yaitu sebagai lulusan
terbaik S1 tingkat Fakultas di UMM dan menjadi lulusan termuda pascasarjana di
UNS saat usia 22 tahun 10 bulan.
Penulis tertarik pada kajian film dengan
mengikuti kegiatan konferensi yang diharapkan dapat menambah wawasan serta
menambah kolega di seluruh Indonesia.
12. Hariyadi,
Universitas Jenderal Soedirman
Email:
harryhariyadi@gmail.com
Kontestasi
Poligini dan Agen Perempuan dalam Film-film Islam di Indonesia
Abstrak
Makalah ini menampilkan bagaiman film-film
Islam Indonesia, terutama Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih
menampilkan isu-isu keperempuanan yang difokuskan pada dua isu: poligini dan
agensi perempuan. Isu poligini dipilih mengingat kontroversi yang ditimbulkannya
dalam masyarakat. Isu agensi perempuan dipilih karena ada pandangan yang
menggambarkan seakan-akan dalam ajaran Islam perempuan selalu pasif dan menjadi
subordinat dari laki-laki. Dalam makalah tersebut diperlihatkan bagaimana
dinamika dari para pembuat film-film Islam Indonesia dalam menampilkan kedua
tersebut. Film yang pertama mengungkapkan pandangan yang relatif progresif
terhadap isu poligini tetapi tidak memperlihatkan agensi perempuan yang aktif.
Sedangkan film yang kedua tidak menggambarkan banyak tentang isu poligini,
tetapi tokoh utama perempuan tidak menyetujui kemungkinan praktik poligini oleh
calon suaminya. Dalam isu agensi perempuan, meski perempuan digambarkan lebih
aktif tetapi agensi ini terkonstruksi oleh kuasa patriarkhi. Bagaimana
film-film Islam Indonesia mengkonstruksi dan merepresentasi isu-isu perempuan
tidak bisa lepas dari kontestasi wacana keislaman dan penafsiran tas ayat-ayat
suci, juga tidak bisa terlepas dari pergulatan nilai-nilai dan budaya dimana
film-film tersebut diproduksi.
Bio:
Hariyadi adalah pengajar dan peneliti di Jurusan Sosiologi FISIP
Unsoed. Ia saat ini menjabat sebagai Koordinator Laboratorium Sosiologi
sekaligus Sekretaris Pusat Penelitian Budaya Daerah dan Pariwisata Unsoed.
Selain itu juga aktif sebagai staf di Pusat Penelitian Gender, Anak, dan
Pelayanan Masyarakat. Minat akademisnya adalah: budaya populer (terutama film),
gerakan keagamaan, teori-teori sosial, gender, ekonomi kreatif, serta
globalisasi dan kapitalisme.
13. Aidatul
Chusna dan Muhammad Taufiqurrohman, Universitas Jenderal Soedirman
Email: aidatul.chusna@gmail.com
dan taufiq_sombo@yahoo.com
Tubuh
Perempuan dan Identitas Budaya Dalam Film “Sang Penari”
Abstrak
Film “Sang Penari” berkisah tentang mimpi
seorang gadis bernama Srintil yang ingin menjadi Ronggeng (penari tradisional
Banyumas). Berlatar belakang tahun 1960an, film ini menghadirkan suasana
politik saat pemerintah sedang gencar memberantas pengikut partai komunis
Indonesia (PKI). Seting cerita ini
adalah di Banyumas, sebuah kabupaten di ujung barat propinsi Jawa Tengah.
Banyumas memiliki banyak keunikan, seperti bahasa, karakter masyarakatnya dan
juga tradisinya, termasuk Ronggeng. Film ini menggambarkan bahwa menjadi
ronggeng pada jaman itu tidaklah mudah. Tidak sembarang perempuan bisa menjadi
seorang ronggeng, karena ronggeng diyakini sebagai posisi yang terhormat.
Melalui sososk Srinthil sebagai seorang ronggeng yang terpilih, kita bisa
melihat bagaimana tubuh perempuan dikaitkan dengan sebuah tradisi yang menjadi
identitas budaya Banyumas. Dengan kacamata feminisme, film ini menyajikan
sebuah ironi, dimana ronggeng yang dipercaya sebagai seorang yang terhormat,
namun pada keyataannya menempatkan wanita pada posisi yang sangat rendah. Tubuh
perempuan dianggap sebagai objek seksualitas semata; perempuan seakan tidak
mempunyai kuasa atas tubuhnya sendiri.
Bio:
Penulis adalah pengajar di Program Studi
Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman. Mengajar
sejak tahun 2008 untuk beberapa mata kuliah bidang sastra, seperti History of English Literature, Methodology of Literature Research, dan Theory of Literature. Lulusan dari
Program Studi Pengkajian Amerika, Universitas Gadja Mada, penulis memiliki
minat dalam kajian sastra dan budaya, termasuk film.
Panel
5. Representasi Pekerja Film Perempuan
14. Gaston
Soehadi
Email:
masgastonsoehadi@gmail.com
Tuti
Indra Malaon Dalam Film-Film Teater Populer
Abstrak
Kajian dalam makalah ini mencoba membaca permainan (seni peran) aktor Tuti Indra Malaon dalam film-film yang diproduksi bersama Teater Populer. Aktor adalah salah satu elemen penting dalam sebuah film, namun sangat jarang menjadi topik pengamatan dalam sebuah kajian film. Pada umumnya, kajian film menganalisis film dalam kaitannya dengan berbagai disiplin lain, misalnya politik, sosial, budaya, hukum bahkan teknologi. Tantangan dalam kajian seni peran ini adalah memberikan makna kepada penampilan seorang aktor dalam film dimana ikut berperan di dalamnya. Tujuan kajian ini adalah usaha penulis untuk bisa menyimpulkan apa yang disebut dengan ‘seni peran’ Tuti Indra Malaon melalui film-fllm yang diperankannya. Penulis berusaha mencapai kesimpulan tersebut melalui pembacaan terhadap dua aspek, yaitu aspek visual (gerak tubuh dan ekpresi wajah) dan aspek bunyi (suara). Kajian seni peran ini secara umum bertujuan untuk memperlihatkan kontribusi seorang aktor, apapun kecilnya, terhadap keberhasilan sebuah film dalam
menyampaikan pesan atau isi cerita kepada penonton.
menyampaikan pesan atau isi cerita kepada penonton.
Bio:
Gaston Soehadi lahir dan besar, hingga
menamatkan pendidikan sekolah menengah atas di Jember Jawa Timur. Setelah lulus
Sarjana dari Universitas Kristen Petra Surabaya, ia melanjutkan pendidikannya
untuk mendapat gelar pasca sarjana (M.A) dalam Applied Linguistics dari
University of New South Wales Sydney dan (Ph.D) dalam Kajian Film dari Monash
University. Saat ini, Gaston mengajar mata kuliah Linguistik Terapan dan Kajian
Film di Universitas Kristen. Kegiatan lain yang pernah dilakukannya adalah
menjadi juri dua kali di short film competition Indonesian Film Festival
Melbourne dan membantu siaran Bahasa Indonesia Radio SBS Melbourne. Ia juga
sempat diminta memberikan kuliah tamu di Monash University tentang film dan televisi
di Indonesia, semasa menjadi mahasiswa di sana. Saat ini, Gaston membantu
Australia-Indonesia Centre Monash (AIC) menyelenggarakan festival film dan
lomba film pendek ReelOzInd di Australia dan Indonesia. Meskipun bukan seorang
cinephile, ia berusaha mewajibkan dirinya menonton film minimal sebulan sekali
di gedung bioskop. Hobinya yang sebenarnya adalah berenang, membaca dan
berjalan kaki. Aktor-aktor film Indonesia favoritnya semasa kecil adalah Ateng,
Iskak, Bing Slamet, Benyamin dan Ratmi B-29.
15. Novi
Kurnia, Universitas Gadjah Mada
Email:
novikurnia@ugm.ac.id, noniknovi@yahoo.com
“Dunia Dalam Genggaman Tangan”: Harapan dan
Tantangan Sutradara Perempuan Indonesia Dalam Jaringan Film Internasional
Abstrak
Sejak berakhirnya sistem otoritarian Order
Baru dan datangnya era reformasi, terdapat perubahan politik, sosial dan budaya
yang signifikan. Salah satunya adalah industri film Indonesia yang tidak lagi
Jakarta centris dan semakin ramah terhadap kedatangan sutradara dan pekerja
film perempuan.
Tak jauh berbeda dengan hadirnya sutradara
perempuan di berbagai negara di dunia yang membawa perubahan dalam wajah sinema
global, hadirnya sutradara perempuan Indonesia sejak tahun 1998 juga membawa
perubahan dalam politik gender sinema Indonesia. Dalam konteks produksi film,
kehadiran mereka menjadikan industri film Indonesia tak lagi didominasi pria
dengan kehadiran mereka berikut prestasi mereka di sinema nasional maupun
internasional. Dalam konteks teks film, mereka menawarkan ragam representasi
gender dan sebagian justru menantang stereotip perempuan dan laki-laki yang
selama ini ada di layar lebar Indonesia. Dalam konteks aktivisme film, mereka
juga terlibat dalam aksi menolak sensor film dan regulasi mengenai pornografi
yang cenderung memfokuskan pada tubuh perempuan.
Untuk mengelaborasi relasi antara sutradara
perempuan Indonesia dan sinema global, studi ini akan menjawab dua pertanyaan
penting: bagaimana posisi sutradara perempuan Indonesia di antara sutradara
perempuan di negara-negara lain di dunia? Bagaimana mereka terkoneksi dengan
jaringan internasional dan dengan cara apa? Untuk menjawab pertanyaan ini,
studi kasus ini akan menggunakan data dari berbagai variasi teknik pengumpulan
data: wawancara, observasi dan analisis dokumen.
Temuan sementara penelitian ini adalah
bahwa sutradara perempuan Indonesia termasuk dalam kategori pendatang baru
dalam peta kontribusi sutradara perempuan dalam sinema global. Mereka bisa
masuk dalam jaringan internasional karena berbagai faktor: pendidikan di luar
negeri, pengalaman di luar negeri, dan atau kemampuan menguasai teknologi
komunikasi informasi.
Studi ini penting untuk mendokumentasikan
posisi, harapan, dan tantangan sutradara perempuan dalam jaringan film internasional
agar bisa menjadi bagian dari perkembangan studi mengenai perempuan dan sinema
global dalam dua dekade terakhir.
Kata kunci: sutradara film perempuan,
jaringan film internasional, sinema global
Bio:
Novi Kurnia adalah staf pengajar di
Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta dan peneliti di Pemantau Regulasi dan Regulator Media
(PR2Media), Yogyakarta. Novi Kurnia menyelesaikan program doktoralnya mengenai
sutradara film perempuan di Indonesia dari Flinders University (South
Australia) tahun 2014. Ia menempuh program masternya di universitas sama dengan
tesis tentang representasi poligami dalam sinema Indonesia (2007). Ia juga
memperoleh gelar master dari Universitas Indonesia (2005) dengan tesis berjudul
ekonomi politik industri perfilman Indonesia. Berbagai publikasi mengenai
media, film, gender, regulasi media, dan literasi media diterbitkan di berbagai
buku, artikel jurnal dan majalah baik di level nasional maupun internasional.
Panel
6. Kebijakan & Infrastruktur Film
16. Imam
Karyadi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, DIY
Email:
imam.karyadiaryanto@gmail.com
Dana
Keistimewaan DIY untuk Pengembangan Perfilman di Daerah Istimewa Yogyakarta
2013-2016
Abstrak
Paper ini akan membahas bagaimana tata
kelola pembiayaan pengembangan perfilman daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) dengan menggunakan Dana Keistimewaan DIY. Penyaluran Dana Keistimewan DIY
untuk pengembangan perfilman dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan DIY sejak tahun
2013. Bentuk-bentuk pengembangan perfilman daerah tidak terbatas pada insentif
produksi akan tetapi termasuk dalam pengembangan apresiasi dan kajian pendukung
kebijakan. Studi kasus dengan pendekatan kualitatif, ini akan berfokus pada
kinerja Seksi, unit eselon IV pada Dinas Kebudayaan DIY dalam mengelola
kegiatan pengembangan perfilman.
Keywords: governance, film , public
policy, Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Bio:
Pria kelahiran Magelang, 22 April, ini
menyelesaikan pendidikannya di Program Magister Administrasi Publik,
Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2015. Saat ini, Imam bekerja sebagai
Perencana Fungsional pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Ia tertarik pada film sejak berkuliah di jurusan Ilmu Komunikasi,
UGM, yang diselesaikannya pada tahun 2006. Sejauh ini, Imam telah menerbitkan
tiga buku: Yesus di Hollywood (2009), Menatap Masa Depan ASN (2014, sebuah
karya berkelompok), dan Festival Film di Daerah Istimewa Yogyakarta (2015).
Buku yang disebutkan terakhir berangkat dari naskah penelitian tesisnya dan
mendapatkan nominasi Apresiasi Film Indonesia (2015) untuk Kategori Kajian
Film.
17. Silvia
Indah Rini dan Nurul Indarti, Universitas Gadjah Mada
Email: ir.silvia@gmail.com
Faktor-Faktor
Penentu Kesuksesan Pelaksanaan Festival Film Di Indonesia
Abstrak
Festival film merupakan salah satu bentuk
apresiasi terhadap karya film. Apresiasi tersebut sebagai wujud penghargaan
atas kerja keras untuk seluruh awak pembuat film dan pemerannya. Karenanya,
kesuksesan penyelenggaraan suatu festival menjadi hal penting. Penelitian ini
berhasil mengidentifikasi kriteria-kriteria dan faktor penentu sukses
penyelenggaraan festival film di Indonesia. Penelitian ini menggunakan
pendekatan semi kualitatif dengan studi kasus beragam. Perspektif berbasis
sumberdaya digunakan sebagai lensa memahami faktor kesuksesan. Lebih lanjut,
penelitian ini memandang festival film sebagai suatu proyek yang mempunyai
titik awal dan akhir.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan
September hingga November 2016 dengan melakukan wawancara pada enam informan
kunci yang berasal dari penyelenggara festival film, lembaga donor dan sponsor.
Selain itu, survei juga dilakukan pada
123 responden berlatar belakang berbagai profesi di industri festival film.
Festival film yang diteliti adalah festival
film yang telah diselenggarakan minimal 5 (lima) kali berturut-turut oleh
komunitas film atau pemerintah. Festival-festival film tersebut yaitu Balinale
International Film Festival (Balinale), Festival Film Bandung (FFB), Festival
Film Dokumenter (FFD), Festival Film Indonesia (FFI), Festival Film Pelajar
Jogjakarta (FPPJ), Festival Film Purbalingga, dan Jogja-Netpac Asian Film
Festival (JAFF).
Penelitian ini berhasil mengeksplorasi 13
(tiga belas) kriteria sukses proyek festival film di Indonesia yang mencakup
tujuh faktor non finansial dan tiga faktor finansial. Faktor-faktor non
finansial meliputi 1) program acara festival, 2) manajemen/pengelolaan
festival, 3) promosi dan publikasi festival, 4) kredibilitas penyelenggara
festival, 5) strategi festival, 6) reputasi festival dan 7) tempat
penyeleggaraan festival. Untuk faktor-faktor finansial terdiri dari 1) jumlah
dana, modal dan aset festival, 2) jumlah sponsor, dan 3) kredibilitas sponsor.
Tiga faktor yaitu 1) program acara festival, 2) manajemen festival, dan 3)
promosi dan publikasi festival merupakan tiga faktor terpenting dalam penentu
sukses. Penelitian ini juga mengidentifikasikan indikator kinerja utama dari
masing-masing faktor penentu kesuksesan. Hasil penelitian diharapkan dapat
mempertajam dan memperluas pemahaman literatur tentang kesuksesan festical
film. Selain itu, pemangku kepentingan dapat mengambil tilikan temuan untuk
perbaikan kinerja penyelenggaraan festival film khususnya di Indonesia.
Kata kunci: festival film, kiteria sukses,
faktor-faktor penentu kesuksesan, indikator kinerja utama.
Bio:
Silvia Indah Rini mulai aktif di dunia film
pada tahun 2012 saat bergabung dengan Fourcolours Films sebagai Office and Administration Manager. Terlibat aktif dalam pendirian dan
pengembangan Jogja Film Academy (sejak 2014) dan bergabung dengan Jogja-Netpac
Asian Film Festival (JAFF) sebagai Finance
Director. Selain di film, aktif sebagai pengajar tamu di Departemen
Ekonomika dan Bisnis, Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tesis
tentang Faktor-faktor Penentu Kesuksesan Pelaksanaan Festival Film di Indonesia
merupakan tugas akhir sebagai syarat kelulusan di Magister Sains dan Doktor,
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Januari 2017.
Filmografi: Siti/2014/Executive Producer,
Turah/2016/Executive Producer
Nurul Indarti adalah staf pengajar di
Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada dan
saat ini menjabat sebagai Direktur Program Studi Magister Sains dan Doktor FEB
UGM Bidang Manajemen. Penulis telah menyelesaikan berbagai jenjang pendidikan.
Gelar SE (Sarjana Ekonomi) diperoleh dari FE UGM (1998); gelar Master of
Business Administration (Sivilokonom) dari School of Management, University of
Agder, Kristiansand, Norwegia (2002); gelar Master of Science in Strategic and
Operations Management (Candidata Mercatoria) dari Norwegian School of Economics
and Business Administration, Bergen, Norwegia (2003); dan terakhir gelar PhD.
di bidang Knowledge Management and Innovation dari Faculty of Economics and
Business, University of Groningen, Belanda (2007-2010).
Penulis pernah menempati beberapa posisi
antara lain: 1) Wakil Deputi Operasional dan Manajemen Database di Small- and
Medium-sized Enterprise and Development Centre (SMEDC) periode 2003-2005; 2)
Wakil Direktur Pengembangan dan Penelitian Manajemen (PPM) FEB UGM periode
2005-2006; 3) Sekretaris Jurusan Manajemen FEB UGM periode 2010-2011; 4) Wakil
Direktur Akademik dan Penelitian Magister Manajemen FEB UGM periode 2012; 5)
Deputi Direktur Bidang Pelatihan di Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan
Bisnis (P2EB) FEB UGM (2013-2015). Penulis juga aktif melakukan kegiatan
penelitian, konferensi, dan publikasi di berbagai jurnal nasional dan
internasional. Bidang yang menjadi ketertarikan penelitian adalah manajemen
pengetahuan, inovasi, kewirausahaan, manajemen proyek, dan perusahaan keluarga.
18. Filosa
Gita Sukmono dan Budi Dwi Arifianto, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Email:
filosa2009@gmail.com
Ketika
Komunitas Film Berbicara Lembaga Sensor Film
Abstrak
Sejak awal kemunculannya dalam perkembangan
film Indonesia, Badan Sensor Film menuai banyak tantangan dari penggiat film
sendiri, karena alih-alih men-sensor hal-hal yang merugikan masyarakat, lembaga
ini justru terkadang “mencederai” film sendiri, baik dari aspek kritisnya
ataupun aspek seni dari sebuah film. Badan Sensor Film sendiri sejak tahun 1994
berganti nama menjadi Lembaga Sensor Film (LSF), yang kemudian lewat UU No 33
2009 mulai mendirikan LSF di daerah, LSF di daerah ini juga kemudian menimbulkan
“gejolak” dan problematika di kalangan penggiatan film di daerah.
Tulisan ini lahir dari sebuah "mini
riset” yang berawal dari keingintahuan penulis tentang pandangan komunitas film
terhadap LSF di daerah, kemudian penulis melakukan Focus Group Discussion (FGD) yang khusus membahas tentang
problematika LSF Daerah dalam kacamata filmmaker di Yogyakarta yang tergabung
dalam beberapa komunitas film.
Hasil tulisan ini nantinya akan menunjukkan
poin-poin penting dari komunitas film tentang lembaga sensor film yang
seharusnya bisa dijadikan evaluasi lembaga tersebut. Selain itu tulisan ini
juga menggambarkan tentang pandangan para filmmaker Yogyakarta tentang LSF di
Daerah.
Kata Kunci :Film Indonesia, Lembaga Sensor Film Daerah dan Komunitas Film
Bio:
Filosa Gita Sukmono adalah Dosen Ilmu
Komunikasi UMY dan Redaktur Jurnal Komunikator UMY. Menyelesaikan jenjang
Sarjana Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang kemudian mendapatkan
gelar “Master of Art” di Prodi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana
UGM dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Doktoral Ilmu Komunikasi di
Universitas Padjadjaran Bandung.
Dia aktif dalam sejumlah penelitian terkait
kajian media, iklan dan isu-isu multikultur. Selain itu sempat menulis
dibeberapa buku bersama koleganya dalam Ekonomi Politik Media : Sebuah kajian
Kritis (2013), Sport, Komunikasi dan Audiens (2014), Di tahun yang sama juga
menulis buku Komunikasi Multikultur : Melihat Multikulturalisme dalam Genggaman
Media (2014), Cyberspace and Culture : Melihat Dinamika Budaya Konsumerisme,
Gaya Hidup dan Identitas dalam Dunia Cyber (2015). Buku terbaru yang ditulis
adalah Jurnalisme Sensistif Bencana : Panduan Peliputan Bencana (2017).
Beberapa tulisan ilmiah terkait dengan Globalisasi Televisi, Jurnalisme Warga,
Jurnaslime Sensistif bencana, Ruang Publik, New Media dan Komunikasi
Multikultur telah dipublikasikan di beberapa jurnal nasional. Saat ini sedang
fokus dalam penelitian-penelitian tentang film Indonesia dan isu-isu
multikultur di media.
19. Dyna
Herlina S, M.Sc, Universitas Negeri Yogyakarta
Kurniawan Adi
Saputro, Ph.D, Institut Seni Indonesia
Firly Annisa,
MA, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Bheti Krisindawati,
S.Kom, Rumah Sinema
Email:
dyna.herlina@gmail.com
Siapa
dan Bagaimana Penonton Bioskop Hari Ini? Penelitian Tiga Kota: Jakarta,
Bandung, Surabaya
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik siapa dan bagaimana prilaku penonton bioskop saat ini di tiga
kota: Jakarta, Surabaya, Bandung sebagai kota-kota dengan jumlah penonton
bioskop terbanyak. Karakteristik penonton ditentukan berdasarkan profil
demografis, sedangkan prilaku dirumuskan melalui fragmentasi, faktor yang
memengaruhi keputusan dan segmentasi. Metode penelitian yang digunakan adalah
campuran dengan menggabungkan pengambilan data dari survei dan focus group
discussion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penonton film bioskop adalah
anak muda dengan keterbatasan uang dan waktu. Saluran konsumsi film secara umum
terbagi menjadi 2, yaitu rumah dan bioskop. Terdapat 14 faktor yang penting
dalam pemilihan film di bioskop selanjutnya penonton menggunakan metode
evaluatif, komparatif, dan antisipatif. Terbentuk 2 segmen penonton bioskop
yang terbedakan berdasarkan pemilihan media: massa dan internet.
Kata Kunci: penonton bioskop, demografi,
prilaku, fragmentasi, pengambilan keputusan, segmentasi
Bio:
Dyna Herlina adalah pendiri dan peneliti di
Rumah Sinema, sebuah organisasi nirlaba untuk kajian media dan khalayak serta
pendidikan bermedia, sejak 2002. Dia juga menjadi Co-founder Jogja Netpac Asian
Film Festival sejak 2006, festival film berbasis komunitas film di Yogyakarta
untuk Film Asia. Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Univ. Negeri Yogyakarta sejak
2014.
Panel
7. Promosi & Distribusi Film
20. Citra
Dewi, Institut Seni Indonesia, Surakarta
Email: citra_de@yahoo.com
Siti,
Dari Produksi Sidestream ke Ruang Putar Mainstream: Siklus Hidup Sebuah Film
Abstrak
Ruang eksebisi mainstream masih menjadi salah satu target utama bagi filmmaker
yang memproduksi film secara sidestream
di tengah banyaknya ruang-ruang eksebisi alternatif yang kian beragam saat ini.
Pemutaran keliling baik secara mandiri maupun kolektif, festival, penjualan DVD
dan melalui media baru adalah ruang-ruang eksebisi yang secara ekonomi lebih
menguntungkan dibanding dengan pemutaran di jaringan bioskop. Studi kasus pada
Film Siti karya Edi Cahyono, hal tersebut jelas terlihat perbandingannya.
Siklus hidup film Siti yang lahir dari sistem produksi sidestream hingga mampu menapaki ruang eksebisi mainstream dan semakin diperpanjang
melalui pembuatan versi berwarna yang sebelumnya mengedepankan konsep hitam
putihnya. Sebenarnya, nilai apa dan siapa yang berperan penting dalam siklus
hidup sebuah film?
Konten yang dihadirkan, sutradara,
produser, kurator festival, reviewer
media sosial ataukah ada pihak lain yang mengambil peran? Tulisan ini akan
membahas tentang perjalanan distribusi film Siti melalui hasil wawancara
terhadap orang-orang berperan di dalamnya serta mengetengahkan arsip-arsip dari
rumah produksinya.
Bio:
Citra Dewi Utami berbekal pengalaman dalam pengelolaan produksi film aktif melakukan penelitian terapan terkait literasi khalayak untuk memproduksi karya audio visual. Saat ini bertugas sebagai staf pengajar Prodi Televisi dan Film serta redaktur jurnal Capture di ISI Surakarta. Alumni Prodi Kajian Budaya dan Media sekolah pascasarjana UGM ini sedang asyik mempersiapkan naskah film panjangnya sembari menanti kelahiran anak keduanya.
Citra Dewi Utami berbekal pengalaman dalam pengelolaan produksi film aktif melakukan penelitian terapan terkait literasi khalayak untuk memproduksi karya audio visual. Saat ini bertugas sebagai staf pengajar Prodi Televisi dan Film serta redaktur jurnal Capture di ISI Surakarta. Alumni Prodi Kajian Budaya dan Media sekolah pascasarjana UGM ini sedang asyik mempersiapkan naskah film panjangnya sembari menanti kelahiran anak keduanya.
21. Lulu
Ratna, Organisasi Boemboe
Email:
lu2ratna@gmail.com
Berjejaring dan Berbagi Melalui Boemboe Forum
Abstraksi
Abstraksi
Boemboe Forum adalah ruang pertanggungjawaban kreatif pembuat film pendek Indonesia terhadap pilihan artistik karyanya. Dalam forum ini setiap peserta forum melakukan presentasi, pemutaran dan diskusi karyanya masing-masing bersama penonton yang hadir. Forum pembuat film pendek Indonesia ini berada dalam skala kecil yang intens, diluar festival film dalam skala yang lebih besar. Organisasi boemboe yang berdiri sejak 2003 menjadi pengagas, penyelenggara dan pelaksana forum tahunan ini.
Dilaksanakan sejak 2004 di berbagai ruang pemutaran film alternatif di Jakarta (kecuali pada tahun 2012), Organisasi boemboe selain membangun jaringan kerja dengan berbagai organisasi pengelola ruang putar film alternatif Jakarta, juga menghubungkan para pembuat film pendek lintas genre yang diundang menjadi peserta Boemboe Forum. Selama 14 tahun, total Boemboe Forum telah mengundang 89 pembuat film pendek dari 17 kota yang mempresentasikan 83 film pendek Indonesia.
Melalui tulisan ini penulis menjelaskan mengapa forum ini ada dan terus bertahan hingga sekarang serta dinamika pelaksanaan acara dari sudut pandang penyelenggara acara. Penulis juga membahas tentang apa kriteria pemilihan peserta forum beserta karya yang dipresentasikan serta bagaimana mereka ditemukan.
Tata kunci: film pendek Indonesia, forum pembuat film pendek, jaringan kerja
Bio:
Sri Ratna Setiawati atau lebih dikenal
dengan nama Lulu Ratna lahir di Jakarta. Lulus dari Antropologi, Universitas
Indonesia 1997. Pernah bekerja mengorganisir dan membuat program di beberapa
festival film, seperti Jakarta International Film Festival 1999, Festival
Film-Video Independen Indonesia (2000-2002), Festival Film Indonesia/FFI (2004,
2011, 2014), Europe on Screen (2007-2011) dan Festival Film Dokumenter Asia Tenggara
“ChopShots” (2012 & 2014). Menjadi juri di beberapa festival film nasional
dan internasional, diantaranya Hamburg International Short Film Festival 2003,
Amnesty International-DOEN Award Rotterdam Film Festival 2005, Tampere Film
Festival 2007, kategori film pendek Jogja-Netpac Asian Film Festival 2011,
kategori film dokumenter XXI Short Film Festival 2013 dan kategori film pendek
FFI (2005, 2006, 2015, 2016). Sejak 2003 aktif di Organisasi Boemboe yang fokus
pada promosi/distribusi film pendek Indonesia dan sejak 2012 juga aktif
memberikan workshop festival film bersama COFFIE (Coordination for Film
Festival in Indonesia). Saat ini bekerja sebagai Sekretaris Komite Film, Dewan
Kesenian Jakarta periode 2015-2018 dan sejak 2016 menjadi Dosen Tidak Tetap di
FTV Fakultas Seni & Desain, Universitas Multimedia Nusantara, Serpong.
22. Irham
Nur Anshari, Universitas Gadjah Mada
Email: irham.anshari@gmail.com
“Ngopi
Film di Warnet”: Sirkulasi Film dalam Lingkup Media Baru
Abstrak
Perkembangan teknologi yang telah mentransformasi medium film ke
dalam bentuk digital memungkinkan cara-cara baru bagaimana film dapat bertemu
audiens. Film tak lagi perlu disaksikan di layar lebar, namun telah menyebar ke
layar kaca hingga layar-layar monitor personal audiens. Tulisan ini merupakan
refleksi atas riset peneliti sebelumnya mengenai praktik mengopi (to copy) film melalui warnet di
Yogyakarta. Tulisan ini berfokus pada praktik sirkulasi film dalam lingkup
media baru. Berbeda dengan praktik “distribusi”, “sirkulasi” dalam konteks ini
merujuk pada bagaimana inisiatif produsen bertemu dengan inisiatif “akar
rumput” dalam mempertemukan film dengan audiens. Sirkulasi film melalui praktik
mengopi film di warnet ini menjadi penting untuk dicermati mengingat praktik
ini berimplikasi pemaknaan yang baru atas praktik-praktik seperti mengoleksi
film dan mengurasi film. Praktik ini juga menimbulkan pertanyaan pada definisi
film di tengah produk audio-visual lain.
Bio:
Irham Nur Anshari merupakan staf pengajar
Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada (UGM). Irham menyelesaikan
pendidikan sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM pada tahun 2010, serta studi
master di Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pasca Sarjana, UGM,
pada tahun 2014. Di luar kesibukannya di UGM, Irham tergabung dalam lembaga
riset Study on Art Practices dan
aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, seperti Biennale Jogja dan
Festival Film Surabaya. Minat kajiannya seputar film, seni visual, program
televisi, dan media sosial. Tulisannya telah dimuat di beberapa jurnal, buku,
dan media massa.
Panel
8. Film di Luar Bioskop
23. Dra.
Andarwati, MA, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Email:
Andarwati1965@gmail.com
Film Sebagai Media Promosi Bisnis: Analisis
Fungsi Sitkom “Malang Melintang” Sebagai Media Promosi Bisnis Malang Strudel
Abstrak
Bermunculannya berbagai macam media sosial
online menyebabkan film tidak hanya berfungsi untuk menghibur, mendidik, dan
memperluas wawasan kehidupan bagi pemirsanya tetapi telah berkembang luas lagi,
antara lain sebagai media promosi bisnis. Berdasarkan sumber data yang terdiri
dari teks-teks berita tentang proyek sitkom “Malang Melintang” dan video cerita
sitkom “Malang Melintang” di You Tube, artikel ini bertujuan untuk
mendiskripsikan fungsi sitkom “Malang Melintang” sebagai media promosi bisnis
Malang Strudel milik pesinetron Teuku Wisnu dkk. menggunakan pendekatan
tekstual dokumenter dan estetika resepsi
dipandang dari teori promosi menurut Dr. Bayu Swastha DH, SE. M.BA dan Ibnu
Sukotjo W.,S.E. Hasil analisis menunjukkan adanya fungsi sebagai media untuk
mempromosikan bisnis Malang Strudel pada proyek sitkom “Malang Melintang” yang
bentuk kegiatannya berupa (a) periklanan, (b) personal selling, (3) promosi
penjualan, (4) publisitas dan hubungan masyarakat. Analisis pada ranah kritik
sastra terhadap cerita dalam video sitkom “Malang Melintang” juga menunjukkan
adanya fungsi sebagai media untuk mempromosikan bisnis Malang Strudel yang
berupa kegiatan (1) personal selling dan (2) publisitas dan hubungan masyarakat
yang terdapat di unsur-unsur cerita sitkom pada tiap-tiap episodenya terutama
pada unsur lagu pembuka dan/atau penutup cerita, latar cerita dan isi dialog
antar tokoh cerita.
Kata kunci:
media, promosi bisnis, sitkom, Malang Melintang, Malang Strudel,
estetika resepsi.
Bio:
Profesi/Keahlian: seniman, pendidik, pengkaji
film, penulis, sastrawati, peneliti. Sebagai seorang seniman: (1) Menjadi Juara
I Lomba Tari Klasik antar Sekolah Dasar se-kota Magetan (1978), pernah
menarikan/melatih berbagai macam tarian Jawa klasik sejak SD hingga Perguruan
Tinggi di acara-acara perayaan atau akademik, antara lain tari “Petik Teh”,
tari “Gambir Anom”, tari “Kijang”, tari “Kupu-kupu”, tari “Gambyong”, tari
“Golek Srimpi”, tari “Orek-orek”, tari “Merak Subal”, (2) Menjadi Juara II
Lomba Pop Singer se-kota Magetan (1983). Memenangkan beasiswa dari Mobil Oil
Inc. untuk program pendidikan S1 di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP
Malang (sekarang Universitas Negeri Malang), lulus tahun 1989. Memenangkan
beasiswa dari Bank Dunia untuk program pendidikan S2 di Jurusan Language Arts
in Education Universitas Iowa Amerika Serikat, lulus tahun 1996. Memenangkan
beasiswa dari Kementrian Agama Republik Indonesia untuk program Short Course
Academic Writing di National University of Singapore (NUS) Singapura (2009).
Sebagai seorang pendidik: Menjadi Dosen PNS di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas
Humaniora, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang sejak tahun
2000 dengan spesialisasi mengajar mata kuliah English Drama, Advanced
Drama, Speaking dan Creative Writing. Hobi menonton film untuk menambah
pengetahuan dalam pengkajian film untuk diajarkan kepada mahasiswa. Film-film
tersebut antara lain (1) Film Indonesia: film religi (misalnya “Tukang Bubur
Naik Haji”, “Para Pencari Tuhan”,“Mengaku Rasul”), film drama percintaan (misalnya “Gita Cinta
dari SMA”, “Puspa Indah Taman Hati”, film horror/historis/misteri
(misalnya film-film yang dibintangi oleh Suzanna), dan film komedi (misalnya
“WARKOP”, “Malang Melintang”), (2) Film luar negeri: science fiction (misalnya
“Lake Pacit”), spionase (misalnya James Bond), film drama keluarga (misalnya
“Mohabbaten”). Menulis: 7 buku diktat pengajaran ESP (English for Specific
Purposes) dan artikel-artikel berbahasa Indonesia atau berbahasa Inggris di
jurnal dan majalah kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Melakukan 11 kali
penelitian di bidang pendidikan Bahasa Inggris. Menghasilkan buku karya sastra:
“Puisi-puisi Cinta Terfavorit Sepanjang
Masa” (2013) dan tertarik untuk menulis cerpen dan skenario film.
24. Ratna
Erika M. Suwarno, Universitas Padjadjaran
Email:
ratna.erika@unpad.ac.id
Eksotisme
Ruang Waktu dalam Webseries Kontemporer Indonesia
Abstrak
Tren film seri web (webseries) dalam
perfilman Indonesia telah berlangsung dan berkembang dalam beberapa tahun
terakhir ini. Bentuk film berdurasi pendek dan narasi film yang langsung dan
tanpa plot berbelit menjadi salah satu pilihan dari bentuk dan narasi film
Indonesia. Adalah sebuah ciri sinematografis dari tren film seri web untuk
menggunakan gambar cantik (beauty shot) dan setting cerita dan/atau lokasi
pengambilan gambar di tempat eksotis. Dalam media baru digital ini, bentuk film
seri web Indonesia secara khusus seringkali berfokus pada tema eksotisme dalam
perjalanan, dalam pertemuan di tempat asing, dan dalam keseharian istimewa.
Setting atau lokasi dalam beberapa film seri web menjadi sebuah kemasan utama yang
signifikan dalam pembahasan kali ini. Dalam beberapa film seri web yang dibahas
saya mencoba mengetengahkan argumen bahwa eksotisme yang tersaji mengkonstruksi
sebuah bentuk kedekatan baru pada ruang-waktu kini dan kontemporer dan sebuah
pendekatan baru pada penonton muda yang melek teknologi visual. Lewat kedekatan
dan pendekatan ini, saya berargumen bahwa film seri web lantas menjadi sebuah
media baru yang menawarkan tatanan sinematografis ruang-waktu baru dalam
relasinya dengan konektivitas karya dan interaksi (langsung) penonnton dalam
distribusi digital global.
Kata kunci: eksotisme, film seri web, new
media, setting, spasiotemporal.
Bio:
Ratna Erika M. Suwarno mengajar di Program
Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran dan juga
bekerja dalam produksi film di Bandung. Ia mempunyai ketertarikan ilmiah dan
melakukan kajian ilmiah berkaitan dengan topik kesusasteraan dunia, writing
space/place, produksi film (dokumenter), budaya Internet Indonesia, dan kajian
terjemahan.
Panel
9. Film & Sejarah I: Film, Tragedi, Trauma
25. Adrian
Jonathan Pasaribu, Cinema Poetica
Email: adrianjonathan@bpi.or.id
Sejarah
Sinematik Peristiwa 1965 dan Penumpasan Unsur-Unsur Progresif di Indonesia
Abstrak
Selama ini
identitas sinematik peristiwa 1965 identik denganPenghianatan G30S/PKI. Saban
30 September film propaganda produksi negara itu menjadi tontonan wajib
masyarakat, melalui penayangan serentak di jaringan televisi nasional dan acara
nobar wajib di bioskop bagi pelajar sekolah. Penghianatan
G30S/PKI tak lagi wajib tayang melalui keputusan Menteri Penerangan pada September
1998, tapi narasi yang ditawarkan film itu kadung melekat di benak warga.
Bahwasanya PKI dan antek-anteknya adalah pembelot negara yang menyebarkan
ideologi anti-tuhan anti-Pancasila, dan bangsa Indonesia selamat dari kudeta
komunis berkat solidaritas warga dan ketangguhan tentara.
Pasca 2012 narasi lain tentang
peristiwa 1965 hadir melalui Jagal dan Senyap. Kedua dokumenter produksi Joshua
Oppenheimer dan kawan-kawan itu beredar melalui penayangan-penayangan yang
diselenggarakan masyarakat – kebanyakan dari kalangan aktivis, mahasiswa, dan
komunitas film – di berbagai ruang publik. Berbeda dengan narasi resmi
pemerintah, Jagal dan Senyap membingkai Orde Baru sebagai rezim politik yang
berdiri di atas genosida, yang diprakarsai oleh sekelompok warga yang bertindak
sebagai algojo atas nasib sejumlah warga lain. Setiap tumpah darah disahkan
atas nama pembersihan bangsa dari unsur-unsur komunis, yang dipicu oleh
kontestasi politik selama Perang Dingin.
Tentunya tiga film tidaklah cukup
untuk membahasakan segala kompleksitas peristiwa 1965. Nyatanya, dari 1968
sampai dengan 2017, tercatat ada 78 film yang membahas 1965, baik peristiwanya maupun
konsekuensi-konsekuensinya. Kepentingan produksinya beragam, baik sebagai
ungkapan artistik, pelumas mesin propaganda negara, penakaran skala penindasan
dan ketidakadilan, maupun upaya advokasi dan pengungkapan fakta. Masing-masing
film bertutur dengan dimensi bahasannya tersendiri, dan menyebar di masyarakat
melalui berbagai jalur distribusi. Capaiannya beragam.
Tulisan ini mengulas sejauh mana
kompleksitas peristiwa 1965 terbahasakan melalui film, dan bagaimana
kontribusinya di tengah upaya pembentukan makna dan penyebaran wacana di ruang
publik . Tulisan ini sejatinya adalah catatan selama proses penyusunan 65 film
65 literatur hasil kolaborasi antara Cinema Poetica dan Marjin Kiri yang
direncanakan terbit pada awal 2018.
Bio:
Salah satu pendiri Cinema Poetica—kolektif
kritikus, jurnalis, peneliti, dan pegiat film yang berfokus pada produksi dan
distribusi pengetahuan tentang sinema untuk publik. Ia percaya dialektika tidak
saja mengatur hajat hidup warga, tapi juga perkara asmara. Dari 2007 sampai
2010, mondar-mandir sebagai pengurus program di Kinoki, bioskop alternatif di
Yogyakarta. Sempat terlibat di filmindonesia.or.id sebagai anggota redaksi,
Festival Film Solo sebagai kurator, dan Berlinale Talent Campus 2013 sebagai
kritikus film. Saat ini aktif menulis dan meneliti tentang perfilman Indonesia,
serta mengadakan lokakarya kritik film di berbagai kota.
26. Debby
Dwi Elsha, Universitas Teknologi Yogyakarta
Email: debbyelsha@gmail.com
Wacana
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Pada Peristiwa Pemberantasan Komunis Tahun 1965
Dalam Film Senyap
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan analisis wacana tentang pelanggaran hak asasi manusia dalam
film dokumenter, The Look of Silence (Senyap, 2014), yang mengungkapkan adanya
tindakan genosida, impunitas dan kebutuhan rekonsiliasi. Penelitian ini
menggunakan metode analisis wacana kritis Norman Fairclough tentang wacana
perubahan sosial dan metode analisis wacana visual Gillian Rose. Temuan
tersebut menunjukkan bahwa wacana dalam teks visual dan verbal cenderung
mengarahkan pemirsa untuk mempercayai kebenaran bahwa komunis adalah korban
pelanggaran hak asasi manusia dengan berbagai cara, yang tidak obyektif dan
justru provokatif. Misalnya dengan menghadirkan banyak shot yang menunjukkan
ketegangan yang berlawanan antara kedua belah pihak dan memberikan informasi
yang tidak seimbang dan tidak lengkap, menimbulkan konflik dan cenderung
menjadi propaganda. Pada tingkat analisis praktik wacana juga menunjukkan
hubungan kekuasaan seperti kepentingan politik yang mencoba melawan wacana
dominan yang ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru dan juga dimaksudkan untuk
pemerintahan sekarang. Dalam analisis sosiokultural menemukan adanya perubahan
sosial di mana orang, institusi dan organisasi bersama dengan pemerintah lebih
memperhatikan, memberikan lebih banyak umpan balik dan tindakan mengenai isu
pelanggaran hak asasi manusia dalam pemberantasan komunis Indonesia di tahun
1965 setelah The Look of Silence diputar secara masif di berbagai daerah.
Bio:
Bergabung dalam komunitas film independen
yang berbasis di Yogyakarta bernama “Montase” sejak 2009. Montase berfokus pada
produksi, apresiasi dan edukasi. Rutin
menulis artikel tentang film yang dipublikasikan melalui website
montasefilm.com. Berpengalaman produksi film independen fiksi pendek dan
panjang serta film dokumenter. Salah satu film yang saya sutradarai berjudul
“The Colors of Mind” (2016) yang merupakan film multiplot dengan tema
problematika perempuan dalam hubungan percintaan. Film ini telah didistribusikan
ke berbagai festival baik lokal, nasional maupun internasional.
Menempuh pendidikan pascasarjana di program
studi ilmu komunikasi Universitas Gadjah Mada dengan tesis berjudul “Wacana
Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada Peristiwa Pemberantasan Komunis Tahun 1965
Dalam Film Senyap”. Saat ini mengajar di program studi ilmu komunikasi
Universitas Teknologi Yogyakarta. Mendirikan kine klub dengan tujuan
mengedukasi mahasiswa agar dapat menghasilkan karya baik berupa film maupun
tulisan apresiasi film.
Menonton film dari berbagai tema, jenis,
genre dan negara. Menyukai film-film spionase khususnya seri film James Bond,
film drama dengan tema kemanusiaan dan cinta, serta film animasi dengan pesan
moral yang kuat. Salah satu film favorit saya adalah film antologi komedia dari
Italia berjudul Ieri, Oggi, Domani (Yesterday, Today and Tomorrow) garapan
Vittorio de Sica tahun 1963. Tertarik untuk berfokus pada kajian film yang
menyoroti perempuan dalam kaitannya dengan gender, feminisme dan seksualitas.
Untuk itu, saya juga membaca banyak buku tentang film yang dapat menunjang
pengetahuan dan kemampuan saya sebagai pegiat, peneliti dan kritikus film.
27. Budi
Irawanto, Universitas Gadjah Mada
Email:
budiirawanto@yahoo.com
Terorisme,
Trauma dan Sinema: Telaah atas Film
Dokumenter Penjara dan Nirwana (2010)
Abstrak
Peristiwa bom Bali pada 12 Oktober 2002
telah menorehkan reputasi buruk Indonesia sebagai lahan gembur bagi aksi
terorisme di kawasan Asia Tenggara. Memakan waktu sekitar tujuh tahun
(2003-2010) dalam proses produksinya, film karya Daniel Rudi Haryanto
bertajuk Penjara dan Nirwana (Prison
and Paradise, 2010) secara mengagumkan mampu merekam pengakuan para pelaku bom Bali, tetapi juga ikhtiar rekonsiliasi antara
keluarga korban dengan keluarga pelaku
pemboman. Meraih penghargaaan The
Director Guild of Japan pada festival dokumenter prestisius Yamagata
International Documentary Film Festival 2011 serta berkeliling ke sejumlah
festival film internasional, dokumenter ini justru mengundang sensor negara
karena dianggap bisa mengilhami tindakan terorisme atau menjadi bagian dari
kampanye para teroris.
Oleh karena itu, makalah ini hendak
menelaah konstruksi terhadap para pelaku pemboman beserta gagasan yang
diyakininya serta siasat mengungkap
trauma keluarga korban dalam film Penjara dan
Nirwana. Dalam makalah ini, saya berargumen bahwa kendati film Penjara
dan Nirwana mampu menggali motif pelaku pemboman dan mengulik pengalaman
keluarga korban, ia masih menyisakan persoalan sebagai medium bagi proses
penyembuhan trauma sebagaimana diintensikan oleh sang pembuat film. Ini karena
hasrat pembuat film menggali informasi justru mengungkit sesuatu yang
barangkali hendak dilupakan oleh keluarga korban serta kehendak mengusut motif
para pelaku pemboman bisa terjatuh menjadi medium diseminasi ideologi para
teroris jika tidak direpresentasikan secara
kritis. Di samping itu, film Penjara dan Nirwana tanpa sikap kritis
cenderung bersandar pada opini pakar terorisme yang menjadi salah satu subjek
dalam dokumenter tersebut.
Kata Kunci: film dokumenter, terorisme,
korban, penyembuhan trauma
Bio:
Budi Irawanto merampungkan studi
doktoralnya pada Department of Southeast Asian Studies di National University
of Singapore dan menulis disertasi tentang politik kultural sinema kontemporer
di Indonesia dan Malaysia. Selain mengajar pada Departemen Ilmu Komunikasi di Universitas
Gadjah Mada, sejak 2006, ia berkidmad sebagai direktur Jogja-NETPAC Asian Film
Festival (JAFF) serta beberapa kali diundang sebagai juri dalam
pelbagai festival film nasional maupun internasional.
Panel
10. Film & Sejarah II: Sejarah Film, Film Sejarah
28. Christopher
Woodrich, Universitas Gadjah Mada
Email: chris_woodrich@hotmail.com
Ekranisasi
Awal: Pengalihan Novel ke Bentuk Film di Hindia Belanda
Abstrak
Penelitian ini membahas ekranisasi, yang
dipahami di sini sebagai pengalihan novel ke bentuk film bioskop, sebagaimana
dipraktikkan di Indonesia pada zaman kolonial. Dalam penelitian ini, konsep
Weber mengenai tindakan sosial—sebuah tindakan yang dilakukan oleh individu
dengan tujuan berinteraksi dengan masyarakat dan mencapai tujuan tertentu—diterapkan,
dan data diambil dari sumber sekunder melalui kajian pustaka. Ditemukan bahwa
praktik ekranisasi dimulai di Hindia Belanda pada tahun 1927 dengan
difilmkannya Eulis Atjih oleh G. Krugers dan berakhir pada tahun 1942 dengan
difilmkannya Siti Noerbaja oleh Lie Tek Swie. Ada sebanyak sebelas film dibuat
berdasarkan novel di dalam kurun waktu ini, dengan beberapa film dibuat
berdasarkan novel yang sama. Ekranissasi ini dikerjakan oleh sembilan produser
dan sutradara dari berbagai latar belakang etnis. Proses rasionalisasi yang
melatarbelakangi tindakan ekranisasi sangat praktis, yaitu eksploitasi karya
popular untuk memperoleh penonton yang paling banyak melalui karya yang teksnya
ditransformasi berdasarkan medium yang digunakan serta perubahan dalam
masyarakat. Karya yang diangkat pada umumnya sudah pernah dijadikan drama
panggung sebelumnya, sehingga penonton yang diraih lebih banyak daripada
seandainya mereka hanya mengandalkan novel aslinya. Karya diangkat juga dengan
pertimbangan temanya yang laris serta ada-tidaknya unsur yang menyudutkan
kelompok tertentu. Secara komersial maupun kritikal, film yang diangkat dari
novel pada masa ini tidak dapat dibedakan dari karya-karya "asli".
Bio:
Christopher A. Woodrich adalah seorang
kandidat doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sekaligus koordinator
pada International Indonesia Forum. Dia sering menulis artikel, baik yang
berbahasa Inggris maupun yang berbahasa Indonesia, mengenai sastra, perfilman,
dan kaitan antara keduanya. Tulisannya yang sudah terbit termasuk "Between
the Village and the City: Representing Colonial Indonesia in the Films of
Saeroen" (Social Transformation,
2015), "Sexual Bodies, Sensual Bodies: Depictions of Women in Suharto-Era
Indonesian Film Flyers (1966–1998)" (Indonesian
Feminist Journal, 2016), dan "Implikasi Metodologis dari Teori
Ekranisasi George Bluestone dalam Buku Novels
into Film" (Lingua Idea,
2016). Dalam waktu luangnya, dia mengoleksi dan mendigitalisasi karya sastra
Indonesia serta dokumen dari sejarah perfilman. Salah satu usahanya dalam
bidang ini adalah "Indonesian Film Poster Archive", yang berisikan
lebih dari 500 selebaran dan iklan film dapat diakses melalui Flickr di
https://www.flickr.com/photos/indonesianfilmposterarchive/albums.
29. Luqman
Abdul Hakim, SMA MUhammadiyah 3 Jakarta
Email: lqmnhkim@gmail.com
Sejarah Dalam Sinema: Refleksi Perkembangan Film Sejarah di Indonesia
Abstrak
Makalah ini berusaha memaparkan sebuah perkembangan dari film sejarah di Indonesia. Perkembangan film sejarah di Indonesia selama ini masih dianggap sebagai sebuah medium yang massif untuk menghadirkan masa lalu bangsa Indonesia yang pantas untuk diingat sebagai sebuah memori kolektif masyarakat. Banyaknya intervensi baik ditingkat pendanaan produksi, distribusi hingga problem sensor merupakan kondisi yang membatasi perkembangan film sejarah. Film sejarah sebagai sebuah genre film, merupakan sesuatu hal yang masih belum mendapat perhatian lebih dalam untuk dikaji. Perdebatan mengenai film sejarah, selalu terjebak dalam perdebatan tentang keakuratan masa lampau yang direpresentasikan melalui film. Perdebatan ini, yang mendudukkan posisi film sejarah lebih inferior ketimbang sejarah tertulis, seperti memaksakan bahwa film sejarah harus mampu menghadirkan kebenaran sejarah seperti halnya yang dikerjakan sejarawan. Padahal, menurut Rosenstone, masa lalu yang dihadirkan dalam film sejarah tidak dapat dibandingkan secara sepadan dengan sejarah yang dihasilkan sejarawan (historiografi). Melalui studi pustaka terhadap beberapa jurnal dan buku yang membahas tentang film sejarah, makalah ini ingin menunjukkan bahwa film sejarah sebagai genre memiliki keunikan dan fungsi khusus dalam menghadirkan masa lalu. Sejarah dalam sinema memiliki keunggulan yaitu representasi dan pencitraan yang lebih riil terhadap masa lalu merupakan bekal bagi arah baru film sejarah di Indonesia sebagai sebuah genre film.
Bio:
Luqman Abdul Hakim adalah alumni Pendidikan
Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang sekarang berprofesi sebagai
tenaga pendidik di SMA Muhammadiyah 3 Jakarta. Semasa kuliah dia aktif di
beberapa komunitas literasi (gerakanaksara.blogspot.co.id; Komunitas Kandang
Buku) yang fokus pada kajian sejarah dan ilmu sosial.
30. Dr
Thomas Barker, University of Nottingham Malaysia Campus
Ekky Imanjaya,
University of East Anglia dan Universitas Bina Nusantara
Email: thomas.barker@nottingham.edu.my
Film
Eksploitasi Transnasional di Asia Tenggara: Kasus-kasus Indonesia dan Filipina
Abstrak
Indonesia dan Filipina mengembangkan
bioskop eksploitasi pada tahun 1970an dan 1980an yang dipasarkan dan diekspor
ke luar negeri. Judul ikonik yang diproduksi selama era ini termasuk Women in
Cages (1971) dan Vampire Hookers (1978) dari Filipina dan The Queen of Black
Magic (1981) dan Lady Terminator (1989) dari Indonesia. Di kedua negara
tersebut, pembuatan film eksploitasi terjadi di bawah naungan otoritarianisme:
Orde Baru di Indonesia (1966-1998) dan kepresidenan Ferdinand Marcos di
Filipina (1965-1986). Dengan menelusuri perkembangan bioskop eksploitasi di
Indonesia dan Filipina, presentasi ini menunjukkan bagaimana film eksploitasi
dikembangkan di dua negara Asia Tenggara di bawah kondisi lokal yang berbeda
yang mencakup beberapa pendorong, pemain, dan faktor struktural yang berbeda.
Pada saat yang sama, walaupun kedua negara tersebut terlibat dalam pasar film
eksploitasi transnasional yang menghubungkan kedua negara dengan tren yang
lebih besar, hubungan antara Indonesia dan Filipina belum digambarkan sampai
saat ini.
Di Filipina pada akhir 1960-an, pembuat
film seperti Eddie Romero dan Gerardo de León tidak memiliki modal produksi
setelah kemunduran Era Studio, dan mendapati diri mereka bekerja dengan
produsen Amerika seperti Roger Corman mencari lokasi murah untuk membuat gambar
eksploitasi untuk pasar grindhouse, drive-in dan b-grade di Amerika Utara.
Secara umum, film-film ini dibingkai oleh hubungan kolonial dengan Amerika
Serikat. Sebaliknya, di Indonesia, serangkaian kebijakan lokal yang berlawanan
mendorong sekelompok kecil produsen komersial lokal dengan ambisi global ke
dalam rangkaian eksploitasi internasional. Kedua industri tersebut terjalin di
berbagai titik termasuk di pasar film, konten, dan terjemahan genre eksploitasi
dalam gaya pembuatan film Asia Tenggara.
Bio:
Thomas Barker adalah staff akademis di the
School of Modern Languages and Cultures, University of Nottingham Malaysia
Campus. Sebelumnya dia adalah asisten peneliti di Institute for Social Science
Research, University of Queensland, dan Visiting
Fellow di Departemen Sosiologi National University of Singapore (NUS). Gelar
PhD dalam Sosiologi dia peroleh di NUS dan sebelumnya dia merupakan peneliti di
the Centre for the Study for Social and Southeast Asian Studies (PSSAT),
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Hingga saat ini, topik penelitiannya
berkisar pada masalah-masalah film dan media di Asia Tenggara.
31. Ekky
Imanjaya, University of East Anglia dan Universitas Bina Nusantara
Email: eimanjaya@gmail.com
Mengapa
Orde Baru Mengekspor Film-Film Yang Sebenarnya Tak Mereka Inginkan? : Prokjatap
Prosar
Abstrak
Sebagaimana dibahas oleh mayoritas
akademisi, kritikus, dan jurnalis film, Pemerintahan Orde Baru terkenal dengan kontrol negara dan penyensoran di berbagai aspek, termasuk
dalam industri film. Bersama para elit budaya, rezim Orba membingkai sebuah
konsep “Film Nasional”, yang diproyeksikan
bisa merepresentasikan kebudayaan Indonesia “yang sebenarnya”, dengan
menekankan “wajah Indonesia di layar perak” yang bersifat “film kultural
edukatif”. (Sen 1992; Heider 1991, Jufri 1992, Said 1991).
Sementara itu, di era yang sama, film-film
eksploitasi yang penuh dengan kekerasan dan adegan sensual, diproduksi,
didistribusikan, dan dieksibisikan. Film-film yang ciri-cirinya secara umum bertentangan dengan
konsep “film nasional” versi Orde Baru ini menjamur, khususnya antara 1978 dan
1995.
Yang menarik, pemerintah secara resmi mengekspor film-film
kelas B ini ke berbagai pasar film yang berasosiasi dengan festival film
bergengsi, seperti Cannes dan Berlinale. Hal ini dilakukan dengan badan resmi, Kelompok Kerja Tetap Promosi dan Pemasaran
Film Indonesia di Luar Negeri, (Prokjatap Prosar) yang beroperasi dari 1981 hingga 1983,
yang berusaha menjual film-film yang
tergolong “film nasional” dan juga film-film eksploitasi (Barker 2014, 12). Pada umumnya, film jenis
terakhir yang paling laris di pasaran global.
Mengapa Orba mengekspor film-film yang
sesungguhnya ingin mereka hindari dan tak sesuai dengan konsep ideal mereka
seputar “Film Nasional”? Makalah ini
akan menganalisa bagaimana dan mengapa Orde Baru, lewat Prokjatap Prosar, mengekspor film-film eksploitasi yang di
dalam negeri acap dikritisi dan dimarjinalkan. Dengan menganalisa
dokumen-dokumen arsip (majalah, makalah, kebijakan), makalah ini akan menginvestigasi bagaimana
rangkaian kebijakan budaya yang paradoksal membentuk dan berdampak ke produksi
dan sirkulasi global film-film eksploitasi transnasional di era 1980an
hingga 2000an.
Bio:
Ekky Imanjaya adalah kandidat doktor di
jurusan Kajian Film, University of East Anglia, Inggris Raya. Tesisnya seputar
“Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema”. Ia juga dosen
tetap jurusan film di Universitas Bina Nusantara.
Ekky
adalah salah satu pendiri Rumahfilm.org dan menulis di berbagai media popular
seperti Kompas, Tempo, dan Rolling Stone Indonesia. Karya ilmiahnya dimuat, di
antaranya, di jurnal Jump Cut, Asian Cinema,
Cinematheque Quarterly, Colloquy,
dan Cinemaya. Dia juga menjadi editor tamu di jurnal Plaridel : A Philippine
Journal of Communication, Media, and Society untuk edisi khusus “The Bad, The Worse, and The Worst: The
Significance of Indonesian Cult, Exploitation, and B Movies”.
Beberapa bukunya: “Remaja Doyan Nonton:Why
Not”, “A to Z About Indonesian
Film”. Dia juga editor edisi Indonesia
dari “Mau Dibawa Kemana Sinema Kita?”, dan bersama Diani Citra menulis satu bab
untuk “Indonesian Women Filmmakers”. Tulisannya diterjemahkan ke dalam Bahasa
Jerman (Südostasien, 2013) dan Mandarin
(katalog Festival Film Taiwan, 2017).
Comments
Post a Comment