Abstrak dan Bio


Keynote Speaker
Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum., Institut Kesenian Jakarta
Judul: Kritik Esensialis dan Kajian Konstruktivis

Bio:
Kelahiran Boston – Amerika Serikat, 19 Juni 1958, saat ini menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Periode 2016 – 2020. Menamatkan S1 di Fakultas Film dan Televisi - Institut Kesenian Jakarta tahun 1994, S2 Fakultas Ilmu Budaya (Program Studi Filsafat) di Universitas Indonesia tahun 2001 dan memperoleh gelar Doktor dari Fakultas Ilmu Budaya (Program Studi Susastra) - Universitas Indonesia pada tahun 2005. Masih aktif mengajar di Fakultas Film dan Televisi, Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta dan Fakultas Ilmu Budaya - Universitas Indonesia. Menjadi nara sumber dalam kegiatan seminar, diskusi dan kuliah umum di sejumlah kampus, organisasi sosial serta beberapa komunitas seni dan budaya di Indonesia.  Seno juga sering terlibat sebagai juri di beberapa festival film yang diselenggarakan di dalam dan luar negeri.

Selain mengajar, beliau juga aktif sebagai jurnalis di beberapa media cetak nasional seperti Harian Kompas, Koran Tempo dan Majalah Tempo serta PanaJournal.com. Sejumlah esai dan artikel telah dihasilkannya, terbit dalam buku karya ilmiah dan buku ilmiah popular. Menerima Penghargaan Sastra Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2013.


Panel 1. Praktik Film & Film sebagai Praktik

1.         Zaki Habibi, Lunds Universitet dan Universitas Islam Indonesia

Menelaah Film melalui “Media Practice”: Sebuah Tawaran Teoretis
Abstrak
Makalah ini berangkat dari fokus telaah pada praktik (practice) di dalam memahami gejala sosial dan budaya, termasuk film dalam keseharian. Gagasan ini merupakan sebuah tawaran teoretis guna melengkapi dan mengkritisi pandangan selama ini dalam kajian film – sebagai media. Telaah film selama ini umumnya menafikan praktik dan lebih berfokus untuk mengurai struktur (termasuk di dalamnya teks), sistem, individu, atau interaksi. Presentasi dari makalah ini sendiri bersumber pada dua manuskrip artikel yang penulis susun, masing-masing berjudul “Theorising media practice within cultural studies framework” dan “Book, crafts, and vintage suitcase: The everyday creativity and media practice in an urban collective”.

Alih-alih terperosok pada apa yang penulis sebut sebagai ‘jebakan perdebatan disiplin’, terutama antara dua kutub pandangan: praktik berorientasi media (media-oriented practice) dan praktik terkait media (media-related practice) (lihat misal, Couldry 2010; Hobart 2006, 2010), proposal gagasan ini berusaha menawarkan lokus perhatian yang berbeda. Yakni, pada sejumlah proposisi pokok dari media practice yang dapat menginspirasi pengkaji film dalam menyusun rancangan penelitiannya. Salah satu proposisi itu di antaranya berguna untuk meletakkan film dalam bingkai keseharian (everyday life) di samping dua ranah lainnya, meminjam ungkapan Postill (2010), yaitu produksi media serta media dan tubuh. Dari sini kerangka teoretis yang mengombinasikan antara praktik terkait (media) film dengan konsep ‘taktik’ dan ‘strategi’ dari teori keseharian dapat dibangun sebagai salah satu alternatif untuk menelaah film lebih komprehensif sekaligus kian sesuai dengan konteks sosial dan kultural yang melingkupinya.

KATA KUNCI: Praktik, praktik terkait media, film dalam keseharian, teori keseharian, taktik, strategi.

Bio:
ZAKI HABIBI adalah peneliti di bidang kajian media dan budaya visual. Sejak Maret 2016 ia bekerja di Institutionen för kommunikation och medier, Lunds Universitet, Swedia, seiring dengan riset doktoralnya yang bertajuk “Mediated Urban Creativity in Contemporary Southeast Asian Cities”. Sebelum tinggal di Lund, ia bekerja sebagai dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Zaki juga beberapa kali terlibat dalam penyelenggaraan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) sebagai Co-Publicist (2006, 2007) dan Koordinator Program Seminar dan Workshop (2009, 2013). Selain itu, ia menekuni foto dokumenter dan telah menyelesaikan beberapa projek, salah satunya “Abandoned and Beyond (Terbengkalai dan Selebihnya)” yang dipamerkan pada 2015. Daftar publikasi akademiknya dapat ditengok di laman berikut: https://lu.academia.edu/ZakiHabibi.

2.         Tito Imanda, Goldsmiths, University of London
Email:  t.imanda@gold.ac.uk, imanda@gmail.com

Membuat Film Mistis dan Mistis Membuat Film: Praktik Kolaborasi Bersama Kelompok Wayang Orang di Kaki Gunung Merapi
Abstrak
Makalah ini merangkum sebuah studi doktoral kekaryaan kolaboratif. Tujuannya menghasilkan sebuah film yang pembuatan dan pemutarannya bisa menggantikan ritual seni pertunjukan dari sebuah kampung petani yang menggunakan seni pertunjukan untuk melakukan ritual keselamatan dan ritual pertanian. Disertasi ini melakukan studi praktik, dengan membuat workshop film dan memproduksi beberapa film yang keputusan estetikanya dihasilkan oleh para seniman tradisional ini. Ada beberapa bentuk kajian yang dilakukan menuju ke hasil akhir yang diinginkan. Kajian pertama tentu adalah etnografi untuk memahami seniman tradisional dari desa, para kolaborator pembuatan film-film ini. Berikutnya adalah kajian praktik kolaborasi film antara akademisi / pembuat film dari kota dengan para seniman tradisional dari desa ini. Selanjutnya adalah kajian praktik yang melihat proses seniman panggung tradisional melakukan adaptasi pertunjukan panggung menjadi film. Lalu menyusul kajian estetika film, yang hasilnya diharapkan juga bisa mendapatkan gambaran dan rekonstruksi estetika sinema awal di Indonesia melalui kajian bentuk dan gaya (form and style) dari film-film di atas. Terjawabnya kajian-kajian di atas melengkapi bahan bakar untuk pembuatan film terakhir, dan menjawab pertanyaan: bagaimana aspek ritual dari pertunjukan panggung yang khas dalam kelompok ini bisa muncul ke dalam bentuk film?

Kata kunci: Praktik Film, Film Tari, Estetika Film, Representasi

Bio:
Tito Imanda adalah antropolog dan pembuat film. Tesis masternya di Departemen Media, Culture and Communications, New York University (2007) membahas faktor ekonomi politik industri film Indonesia. Tahun 2008-2013 dia membangun dan mengelola sekolah film baru di sebuah universitas di Jakarta. Saat ini dia melewatkan sebagian besar waktunya di Jogja dan London, menyelesaikan program doktor di Departemen Media and Communications, Goldsmiths, University of London. Tesis doktornya berfokus pada kolaborasi pembuatan film dengan kelompok wayang orang di kaki gunung Merapi, sebagai bagian dari pemahaman adaptasi orang panggung ke layar yang terjadi pada era awal kemunculan film di berbagai tempat di dunia.

3.         Sys W, Komunitas Film Tasikmalaya

Dongeng Pasar: Pergerakan Film di Priangan Timur, dan Analisa Soundscape di Pasar Tradisional dalam Film Staartster
Abstrak
Film berjudul Staartster dibuat berdasarkan riset hasil kerjasama salah satu mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Staartster diambil dari bahasa Belanda yang artinya bintang ber(ekor) cahaya atau disebut bintang kukus oleh masyarakat Sunda. Dalam kamus RA Danadibrata, terdapat sub-entry bintang kukus yaitu sagundukan béntang gedé-leutik anu témbongna ti bumi siga aya buntut centik (sekumpulan bintang besar dan kecil yang terlihat dari bumi seperti berekor cahaya) dimana kehadirannya tidak lagi berada di batas terluar semesta tapi mewujud pada karya anak muda di Priangan Timur dan keberadaan pasar tradisional dalam kepungan pasar modern yang dihadapkan pada dua pilihan; menjadi terang atau redup.

Dalam Buku Ear Cleaning, Murray Schafer mendefinisikan soundscape berasal dari dua impresi kata, yaitu sound dan scape; sound artinya suara, sedangkan scape singkatan dari landscape, artinya pemandangan. Kata sound apabila ditambah scape menjadi soundscape, artinya pemandangan berupa suara atau bunyi. Melalui pendekatan inilah, film Staartster mengajak penonton bertamasya bunyi, dikolaborasikan dengan bahasa visual untuk menyingkap keberpihakan pemerintah terhadap nasib pasar tradisional. Keberpihakan yang dianalogikan seperti sebuah dongeng, disertai alegori bunga sebagai ungkapan bisu dari perasaan manusia. Sebelum kutukan berakhir dalam kelopak bunga yang gugur, seorang harus mencintai pasar tradisional setulus hati untuk melengkapi kemampuan medium film mampu merubah dongeng menjadi kenyataan.

Kata Kunci: Film, Soundscape, Pasar Tradisional

Bio:
Sys w, pegiat komunitas yang tinggal di kota Tasikmalaya. Pernah aktif di Kampung Halaman Jogjakarta, Satu Nama Jogjakarta, Founder Kofita (komuitas film tasikmalaya) dan Balaka Sinematograpi, pernah bekerja dalam kajian sejarah lokal Soekapoera Institute, sekarang bekerja sebagai Piar digital marketing, dan menyibukan diri dalam kegiatan literasi.

Panel 2. Panel 2. Praktik Dokumenter

4.         Renta Vulkanita Hasan, Romdhi Fatkhur Rozi, Universitas Jember
Email: voelca@gmail.com

Para Harimau Yang Menolak Punah: Estetika Dokumenter Televisi di Era Pasca Reformasi
Abstrak
Para Harimau Yang Menolak Punah (Imanda Dea Sabiella dan Edho Cahya Kusuma, 2013) merupakan judul dokumenter televisi produksi Eagle Institute dengan ciri filmis berupa paduan antara gambar dan tuturan (wawancara). Dokumenter televisi ini menarik untuk diteliti dalam konteks kontinuitas dan perubahan estetika dokumenter televisi, dalam kurun era pasca reformasi dengan era orde baru sebagai pembanding. Jika pada masa orde baru, kampanye pelestarian lingkungan melalui media dokumenter notabene diproduksi oleh pemerintah melalui estetika sinematik yang bersifat propagandis, maka saat ini dokumenter televisi produksi Eagle Institute justru menggunakan estetika sinematik yang kritis sebagai konter bagi pemerintah. Fakta dan fiksi (faksi) menjadi istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai bentuk kontinuitas dan perubahan dokumenter televisi Indonesia. Alasan pemilihan istilah ini adalah dunia fenomenal dalam banyak kasus, seperti yang terlihat dalam dokumenter, seakan berbeda dari "dunia nyata", meskipun dalam kenyataannya rekaman itu berasal dari “dunia nyata/realitas”. Penelitian ini menggunakan pendekatan film kognitif untuk mengamati sejauh mana Faksi beroperasi sebagai media kritik yang secara estetis merangkai dokumenter tersebut. Struktur mental digunakan untuk menjelaskan Faksi melalui petunjuk filmis hingga diperoleh kesimpulan tentang kritik yang ingin disampaikan melalui dokumenter.

Kata kunci: estetika, dokumenter, televisi, faksi.

Bio:
Renta Vulkanita Hasan (Rere), anggota KAFEIN. Tinggal di Magelang. Menyelesaikan pendidikan S1 di ISI Yogyakarta dan S2 di Universitas Gadjah Mada. Sejak 2010, aktif mengajar di Prodi S1 Televisi dan Film, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Fokus di bidang kajian dokumenter, khususnya dokumenter era pascakolonial. Saat ini, sedang menyelesaikan penulisan disertasi pada program studi S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, dengan topik riset tentang klaim kebenaran filmis dokumenter. Selain itu, saat ini sedang merancang dua konsep karya dokumenter performatif, berjudul “Eyeg” dan “Kliwon”, performativitas tentang kehidupan sehari-hari di suatu desa di Magelang.

Romdhi Fatkhur Rozi lulus dari program sarjana FISIP Universitas Jember dan melanjutkan studi magister Media Komunikasi di Universitas Airlangga. Mendirikan komunitas Jember Photography pada tahun 2008. Menjadi penulis naskah dan sutradara film dokumenter ‘Dari Kopi Sampai Ngopi’ (2013). Sejak 2011, aktif mengajar di Prodi S1 Televisi dan Film, Universitas Jember. Fokus pada bidang kajian media dan komunikasi. Aktif memproduksi karya audiovisual untuk profil, video klip dll, saat ini sedang memperdalam teknik penciptaan lagu dan aransemen musik untuk kebutuhan pribadi maupun original soundtrack.

5.         Rhino Ariefiansyah, Universitas Indonesia
Email: rhinoariefiansyah@ui.ac.id, rhino.ariefiansyah@gmail.com

Alea: Sebuah Narasi Bisu Tentang Bencana
Abstrak
Sebagai negeri yang rawan bencana, Indonesia perlu memaksimalkan segala daya untuk memahami dan menanggulangi akibat-akibat kebencanaan. Bagaimana film bisa bercerita tentang bencana secara konstruktif dan lebih jauh lagi, berkontribusi dalam upaya penyembuhan trauma penyintasnya? Alea adalah sebuah eksperimentasi visual yang menggali kemungkinan-kemungkinan ini, hasil kolaborasi Rhino Ariefiansyah (antropolog) dengan Marie Velardi (artis) tentang kenangan orang-orang yang pernah tinggal di daerah bencana, mimpi-mimpi mereka tentang tempat tinggal dan kejadian bencana dan bagaimana mereka melanjutkan hidup di tempat tinggal baru yang asing. Film ini adalah upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan berturur visual dengan melibatkan metode penelitian etnografis dan upaya-upaya kreatif. Dengan kata lain, film ini adalah upaya untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk etnografi visual dalam menggambarkan relasi manusia dengan alam.

Badai Xynthia menghantam wilayah pesisir Vandee di bagian barat Prancis pada suatu dinihari di bulan Februari tahun 2010. Badai tersebut menewaskan 29 orang di sebuah area pemukiman di commune La-Faute-Sur-Mer. Sebagian besar korban adalah orang tua dan anak-anak yang tidak mampu bertahan melawan arus air yang kuat dan suhu yang dingin. Film ini menggabungkan visualiasi lanskap daerah bencana dengan teks dari hasil wawancara dalam satu narasi visual bisu. Paruh pertama film adalah visualisasi narasi para penyintas bencana tentang tempat tinggal mereka yang sekarang sudah rata dengan tanah. Bagian kedua adalah narasi spekulatif dari pembuat film tentang apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Makalah ini ingin mendiskusikan pilihan-pilihan yang dimiliki oleh pembuat film dokumenter Indonesia untuk membuat representasi visual mengenai peristiwa bencana dan upaya rehabilitasi para penyintasnya.

Bio:
Rhino Ariefiansyah merupakan Dosen dan peneliti pada Departemen Antropologi Universitas Indonesia. Lulus dari program master experimentasi art & politic (SPEAP) di SciencesPo. Paris, pada tahun 2014, dengan beasiswa dari Pemerintah Prancis. Minat kajiannya adalah ekologi manusia,  isu-isu migrasi, dan penggunaan media visual, terutama video dalam praktik etnografi. Irisan dari minat-minat ini membawa dia ke festival, konferensi, dan pertemuan-pertemuan lokal dan regional terkait dengan isu-isu identitas dalam perpindahan ruang manusia, terutama yang bisa ditangkap dan disajikan dengan bahasa audio visual. Saat tidak mengajar atau melakukan penelitian di lapangan, Ariefiansyah menghabiskan waktu di depan komputer menyunting gambar-gambar filmnya dan bermain bersama anak perempuannya.

6.         Panji Wibowo, Institut Kesenian Jakarta

Pendeteritorialisasian Bangsa: Sudut Pandang Deleuzian atas Ruang dan Identitas dalam Film Ketika Badai Pergi
Abstrak
Film dokumenter Ketika Badai Pergi (Panji Wibowo, 2017) berlatar konflik Maluku atau ‘perang sipil’ sepanjang tahun 1999-2004. Film ini merupakan jahitan kesaksian delapan penyintas dan dua aktifis perdamaian seputar konflik Maluku 1999-2004. Kesaksian mereka berkelindan dengan penjelasan tentang tradisi Pela dan Gandong dari empat orang narasumber ahli. Pela merupakan ikatan persaudaraan yang dilakukan melalui perjanjian antara dua atau lebih desa, perjanjian untuk mengikat tali persaudaraan, saling bantu dan saling melindungi. Sementara  Gandong, yang juga berarti kandung, merupakan sesuatu yang genetis. Ketika nenek-moyang mereka (sekandung) terpisah karena perang atau bencana alam kemudian anak keturunannya yang telah menempati desa berbeda mulai saling mencari. Satu desa dapat saja memiliki lebih dari satu pela dan  gandong.
Kerusuhan yang menelan demikian banyak korban, dimana sebagian penyintas tidak dapat kembali lagi ke desanya—terdeteritorialisasi. Konflik tersebut juga memaksa orang Maluku untuk merumuskan kembali siapa ‘diri’ nya—identitas. Tulisan ini akan mengkaji Maluku pasca kerusuhan sebagaimana yang digambarkan dalam film tersebut menggunakan perspektif Deleuzian, utamanya gagasan yang termuat dalam buku Cinema 2, The Time-Image (TI) menyangkut ‘sinema politik modern’ (Deleuze, 2008, 209) dan ‘sinema baru’ (TI, 43) juga dari buku Cinema 1, The Movement Image (MI) yang membahas tentang “kesadaran dari minoritas baru” (MI, 210-211). Sudut pandang yang mengkonstitusikan arah sinema sebagaimana yang ia percaya bahwa sinema akan memproduksi imaji-imaji baru yang melampaui naratif Hollywood klasik: “...imaji baru ini bukan merupakan penyempurnaan sinema, melainkan sebuah mutasi dari padanya” (MI, 219).

Bio:
Panji Wibowo adalah sutradara lepas dan mengerjakan berbagai program audio-visual; TV Program, Music Video, dokumenter, Iklan, film, corporate profile, dan lain-lain. Dia juga aktif dalam  bidang penulisan kreatif , film training, kritik film dan penyutradaraan film dan dokumenter. Sejak 2013 dia mengelola “Ideogram, Melukis Gagasan”,  sebuah rumah kreatif yang berfokus dalam pengembangan bahasa film, literasi visual, workshop, pelatihan film dan produksi film. Saat ini banyak menjadi juri festival, instruktur pelatihan, narasumber, dan menjadi koordinator pembuatan modul workshop penyutradaraan di seluruh Indonesia bersama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Panel 3. Film, Identitas dan Kelas Sosial

7.         Sazkia Noor Anggraini, Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Kajian Naratif atas Gagasan Nasionalisme dalam Film-film Usmar Ismail Era 1950-an
Abstrak
Penelitian ini berangkat dari klaim bahwa film-film sebelum Darah dan Doa (1950) tidak didasari oleh sebuah kesadaran nasional dan oleh karenanya tidak bisa disebut sebagai film Indonesia. Klaim ini perlu dipertanyakan karena punya tendensi akan pengertian sempit etno nasionalis yang keluar dari elite budaya Indonesia. Penelitian ini mencoba membangun argumen secara kritis dengan memeriksa kembali gagasan nasionalisme yang dianggap sebagai ideologi penting dalam film-film Usmar Ismail pada era 1950-an. Gagasan nasionalisme kebangsaan oleh Benedict Anderson digunakan sebagai konsep kerja utama dalam membedah naratif pada film Darah dan Doa, Lewat Djam Malam (1954), dan Tamu Agung (1955). Caranya adalah dengan menguraikan temuan dalam syuzhet film dengan menjabarkan fabula-nya. Kemudian menganalisisnya dengan cara mengidentifikasi liyan untuk menuntun penalaran penonton sebagai komunitas terbayang dalam elemen naratif yang dominan, yakni : dialog, adegan dan narasi. Proses ini akan menemukan konstruksi logika naratif dengan kecenderungan para tokoh-tokoh utama pada afiliasi tertentu. Telaah naratif dalam penelitian ini ternyata gagal menemukan kesamaan ciri nasionalisme kebangsaan, malah sangat bertentangan. Semua karakter dalam film yang menuntun penonton untuk menemukan lanskap pemahaman sebagai bangsa justru gagal bekerja dalam proyek bersama demi kedaulatan. Temuan ini berarti, klaim ‘nilai nasionalisme’ yang ditempelkan pada film-film Usmar perlu diluruskan, terutama jika dilihat dari bentuk naratifnya. Meski demikian, secara substansial film-film yang dibuat pada konteks awal kemerdekaan itu merupakan manifestasi pesan representasi politis di mana bangsa harus terus-menerus bekerja bersama dalam common project demi cita-cita kedaulatan yang tidak sebatas terbebas dari kolonialisme, tetapi juga isu-isu relevan di masa kini dan nanti yang punya potensi memecah belah bangsa. 

Bio:
Sazkia Noor Anggraini adalah lulusan dari Departemen Antropologi, Universitas Gadjah Mada (2008) dan Jurusan Televisi, Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2012). Sejak 2007 hingga 2012, terlibat dalam kerja video partisipatif dan penelitian etnografi. Ia baru mulai meneliti film sejak 2013 saat mengambil master bidang kajian film di Pascasarjana Institut Seni Indonesia. Beberapa hasil penelitiannya pernah dipresentasikan dalam International Conference for Asia Pacific Arts Studies (ICAPAS) pada 2013 & 2015 serta Bienalle Equator International Symposium 2014. Minat kajiannya seputaran arsip film nasional, film pascakolonial, kajian naratif dan visual etnografi. Hingga sekarang, ia menjadi tenaga pengajar paruh waktu di bidang penulisan naskah dan dokumenter pada Jurusan Televisi dan Film, ISI Yogyakarta dan Akademi Radya Binatama (AKRB). 

8.         Mundi Rahayu, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: mundi_rahayu@yahoo.com

Citra dan Identitas Muslim Indonesia Kontemporer dalam Film-Film Bertema Islam
Abstrak
Dalam berbagai penelitian, film yang banyak dikonsumsi masyarakat modern, mengemban peran-peran penting di antaranya adalah bahwa film mampu merefleksikan  kegelisahan dan keinginan penontonnya, serta mengekspresikan persoalan-persoalan penting yang dihadapi manusia (Miles, 1996: x). Lebih dari  sekedar media hiburan, Joel Martin dan Conrad Ostwalt (1995) menegaskan bahwa film mempunyai potensi untuk memperkuat, menantang, menjungkirbalikkan atau mengkristalkan suatu perspektif agama, asumsi ideologis dan nilai-nilai dasar yang selama ini kita yakini (Martin and Ostwalt, 1995: vii). Di Indonesia setelah reformasi, film-film bertema Islam banyak diproduksi, terutama setelah suksesnya film Ayat-ayat Cinta (2008). Film-film bertema Islam ini misalnya, film “99 Cahaya di Langit Eropa (1 dan 2)”, “Assalamualaikum Beijing”, “Jilbab Traveler”, “Surga yang Tak Dirindukan” dan lain sebagainya. Ada berbagai isu menarik seputar identitas dan citra Muslim  yang digambarkan dalam fim-film ini. Paper ini akan memaparkan bagaimana identitas dan citra Muslim kontemporer direpresentasikan di dalam fim-film bertema Islam tersebut.  Wacana apa sajakah yang direpresentasikan dalam film-film bertema Islam tersebut dan persoalan apa yang ingin disuarakan  tentang Muslim dan Muslimah dalam film-film tersebut. Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis (CDA Fairclough), dengan mengamati lima film yang di sebutkan di atas sebagai obyek kajian.

Bio:
Dr. Mundi Rahayu, lulus dari Kajian Budaya dan Media UGM 2015, minat riset di bidang kajian sastra,budaya dan media (termasuk film). Sekarang mengajar di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.  

9.         Shadia Pradsmadji, Universitas Bina Nusantara

Representasi Pendidikan dalam Film Laskar Pelangi dan Di Timur Matahari
Abstrak
Makalah ini akan membahas bagaimana film Laskar Pelangi (2008) karya Riri Riza dan Di Timur Matahari (2012) karya Ari Sihasale merepresentasikan pendidikan sebagai metode yang penting untuk memperbaiki nasib diri dan membangun masyarakat yang lebih baik melalui caranya masing-masing. Laskar Pelangi memperlihatkan kesenjangan pendidikan yang dialami oleh anak-anak SD Muhammadiyah Gantong di Belitong dan bagaimana anak-anak tersebut memperjuangkan keberadaan sekolah tersebut agar terus bisa mengakses pendidikan formal. Sementara itu, Di Timur Matahari memperlihatkan kesenjangan pendidikan yang terjadi di pedalaman Papua, di mana dalam konteks film ini, ketidakadaan pendidikan formal membuat anak-anak di sana harus mencari cara-cara alternatif untuk bisa belajar. Analisis akan dititikberatkan pada naratif untuk melihat bagaimana kedua film ini memiliki kesamaan konteks terkait pendidikan pada masyarakat di kedua film tersebut, namun adanya perbedaan cara merepresentasikan pendidikan membuat kedua film juga memiliki jalan cerita dan resolusi yang jauh bertolak belakang.  

Bio
Alumnus jurusan film dari Universitas Bina Nusantara. Saat ini bekerja sebagai Scheduling and On Air Promotion Coordinator untuk FLIK, sebuah stasiun televisi Indonesia berbayar yang khusus menayangkan film-film Indonesia dalam kualitas high definition. Juga aktif sebagai redaksi dan staf media sosial untuk Cinema Poetica, sebuah media online kajian dan kritik film. Di waktu senggang senang mendengarkan musik, selain juga menonton film.

10.       IGAK Satrya Wibawa, Curtin University dan Universitas Airlangga
Email: igaksatrya@fisip.unair.ac.id, igusti.wibawa@postgrad.curtin.edu.au, ketutsatrya@yahoo.com.au

Anak-anak, Narasi Kepahlawanan dan Trauma Nasionalisme dalam Film Djenderal Kantjil (1958)
Abstrak
Sejak film fiksi pertama di Indonesia diproduksi tahun 1926, banyak film telah dengan sengaja menggambarkan anak-anak untuk mengartikulasikan pesan sosial dan politik. Imaji sosok anak-anak yang dikonstruksi sebagai sosok tanpa dosa membuat mereka dipilih untuk mendiskusikan isu-isu kontemporer dalam dinamika sosial politik Indonesia (Kittley, 1999; Strassler, 1999; Spyer, 2004; Wibawa, 2008; Allen, 2011). Film Indonesia paska kolonial banyak diproduksi dalam tema-tema kepahlawanan. Narasi kepahlawan klasik di Indonesia diarahkan pada aspek kemiliteran yang terinspirasi dari cerita-cerita klasik pewayangan (Wessel, 1996). Termasuk beberapa film yang tercatat menampilkan tokoh anak-anak dalam narasi utamanya.  Film Djenderal Kantjil yang diproduksi tahun 1958 adalah film dengan tokoh anak-anak dengan tema kepahlawanan yang tercatat sukses meraup penonton (Kristanto, 2005) Makalah ini akan mengeksplorasi bagaimana tokoh anak-anak direpresentasikan dalam narasi kepahlawanan dalam film Djenderal Kantjil. Argumentasi dalam makalah ini adalah tokoh anak-anak dipergunakan untuk merefleksikan trauma nasionalisme dalam narasi kepahlawanan dalam film Djenderal Kantjil.

Kata kunci: Anak-anak, Film Indonesia, Representasi, Kepahlawanan, Trauma Nasionalisme

Bio:
I Gusti Agung Ketut Satrya Wibawa, atau lebih akrab dipanggil Igak Satrya, adalah salah satu staf pengajar di Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Surabaya Jawa Timur Indonesia. Minatnya pada dunia sinema dan kreatif membuat dia aktif pada organisasi maupun aktivitas yang terkait dunia sinema dan kreatif. Dia menjadi salah satu pendiri independen Film Surabaya, satu dari sedikit wadah penggemar sinema di jawa Timur pada tahun 2000-an. Bidang ajar dan bidang riset yang ditekuninya juga berkisar pada dunia sinema, terutama mengenai anak-anak dalam sinema. Saat ini, dia sedang tertarik dengan riset yang mengkombinasikan kajian sinema, internet dan jurnalistik. Saat ini sedang menempuh pendidikan doctoral di School of Media. Cultures and Creative Arts di Curtin University, perth Australia atas beasiswa dari Curtin University.  Dia menempuh studi master-nya di Curtin University pada tahun 2006-2008.

Panel 4. Representasi Perempuan dalam Film

11.       Lalita Hanief, Universitas Lambung Mangkurat
            Email: afiqalita@yahoo.co.id

Representasi Wanita dan Gender Pada Film Bilur-Bilur Penyesalan (1987)
Abstrak

Film adalah karya seni yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dalam bentuk audio visual. Film Bilur-bilur Penyesalan diproduksi tahun 1987 dengan genre drama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi wanita dan gender pada film Bilur-Bilur Penyesalan. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi, dokumentasi dan studi literatur. Teknik analisa data berupa menggunakan analisis isi kualitatif dengan cara reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan triangulasi data. Hasil studi menemukan bahwa representasi wanita dan ketidakadilan dalam gender dalam film Bilur-Bilur Penyesalan menunjukan: 1. marginalisasi anak perempuan oleh ayahnya saat hubungan dengan pria pilihannya tidak direstui. 2.Gender dan subordinasi tidak nampak karena Mitha bekerja sebagai pengacara dan membela terduga kasus pelecehan dalam persidangan. 3.Gender dan stereotip dalam film ini ada pada figuran wanita yang mengalami pelecehan di diskotik, wanita minum alkohol dianggap nakal dan lemah sehingga bisa dilecehkan. 4.Gender dan kekerasan nampak pada scene mitha diusir sang ayah karena hamil di luar nikah dan pada scene figuran wanita yang dilecehkan di diskotik. 5. Gender dan beban kerja tidak bias karena mitha bekerja sebagai seorang pengacara dan memiliki karir bagus.

Kata kunci: Film, Gender, Representasi Wanita

Bio:
Penulis adalah dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Lambung Mangkurat. Penulis lahir di Bandung, 12 Juli 1987. Prestasi yang pernah diraih saat dibangku kuliah yaitu sebagai lulusan terbaik S1 tingkat Fakultas di UMM dan menjadi lulusan termuda pascasarjana di UNS saat usia 22 tahun 10 bulan.
Penulis tertarik pada kajian film dengan mengikuti kegiatan konferensi yang diharapkan dapat menambah wawasan serta menambah kolega di seluruh Indonesia.

12.       Hariyadi, Universitas Jenderal Soedirman
            Email: harryhariyadi@gmail.com

Kontestasi Poligini dan Agen Perempuan dalam Film-film Islam di Indonesia
Abstrak
Makalah ini menampilkan bagaiman film-film Islam Indonesia, terutama Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih menampilkan isu-isu keperempuanan yang difokuskan pada dua isu: poligini dan agensi perempuan. Isu poligini dipilih mengingat kontroversi yang ditimbulkannya dalam masyarakat. Isu agensi perempuan dipilih karena ada pandangan yang menggambarkan seakan-akan dalam ajaran Islam perempuan selalu pasif dan menjadi subordinat dari laki-laki. Dalam makalah tersebut diperlihatkan bagaimana dinamika dari para pembuat film-film Islam Indonesia dalam menampilkan kedua tersebut. Film yang pertama mengungkapkan pandangan yang relatif progresif terhadap isu poligini tetapi tidak memperlihatkan agensi perempuan yang aktif. Sedangkan film yang kedua tidak menggambarkan banyak tentang isu poligini, tetapi tokoh utama perempuan tidak menyetujui kemungkinan praktik poligini oleh calon suaminya. Dalam isu agensi perempuan, meski perempuan digambarkan lebih aktif tetapi agensi ini terkonstruksi oleh kuasa patriarkhi. Bagaimana film-film Islam Indonesia mengkonstruksi dan merepresentasi isu-isu perempuan tidak bisa lepas dari kontestasi wacana keislaman dan penafsiran tas ayat-ayat suci, juga tidak bisa terlepas dari pergulatan nilai-nilai dan budaya dimana film-film tersebut diproduksi.

Bio:
Hariyadi adalah pengajar dan peneliti di Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed. Ia saat ini menjabat sebagai Koordinator Laboratorium Sosiologi sekaligus Sekretaris Pusat Penelitian Budaya Daerah dan Pariwisata Unsoed. Selain itu juga aktif sebagai staf di Pusat Penelitian Gender, Anak, dan Pelayanan Masyarakat. Minat akademisnya adalah: budaya populer (terutama film), gerakan keagamaan, teori-teori sosial, gender, ekonomi kreatif, serta globalisasi dan kapitalisme.

13.       Aidatul Chusna dan Muhammad Taufiqurrohman, Universitas Jenderal Soedirman
Email: aidatul.chusna@gmail.com dan taufiq_sombo@yahoo.com

Tubuh Perempuan dan Identitas Budaya Dalam Film “Sang Penari”
Abstrak
Film “Sang Penari” berkisah tentang mimpi seorang gadis bernama Srintil yang ingin menjadi Ronggeng (penari tradisional Banyumas). Berlatar belakang tahun 1960an, film ini menghadirkan suasana politik saat pemerintah sedang gencar memberantas pengikut partai komunis Indonesia  (PKI). Seting cerita ini adalah di Banyumas, sebuah kabupaten di ujung barat propinsi Jawa Tengah. Banyumas memiliki banyak keunikan, seperti bahasa, karakter masyarakatnya dan juga tradisinya, termasuk Ronggeng. Film ini menggambarkan bahwa menjadi ronggeng pada jaman itu tidaklah mudah. Tidak sembarang perempuan bisa menjadi seorang ronggeng, karena ronggeng diyakini sebagai posisi yang terhormat. Melalui sososk Srinthil sebagai seorang ronggeng yang terpilih, kita bisa melihat bagaimana tubuh perempuan dikaitkan dengan sebuah tradisi yang menjadi identitas budaya Banyumas. Dengan kacamata feminisme, film ini menyajikan sebuah ironi, dimana ronggeng yang dipercaya sebagai seorang yang terhormat, namun pada keyataannya menempatkan wanita pada posisi yang sangat rendah. Tubuh perempuan dianggap sebagai objek seksualitas semata; perempuan seakan tidak mempunyai kuasa atas tubuhnya sendiri. 

Bio:
Penulis adalah pengajar di Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman. Mengajar sejak tahun 2008 untuk beberapa mata kuliah bidang sastra, seperti History of English Literature, Methodology of Literature Research, dan Theory of Literature. Lulusan dari Program Studi Pengkajian Amerika, Universitas Gadja Mada, penulis memiliki minat dalam kajian sastra dan budaya, termasuk film.

Panel 5. Representasi Pekerja Film Perempuan

14.       Gaston Soehadi
            Email: masgastonsoehadi@gmail.com

Tuti Indra Malaon Dalam Film-Film Teater Populer
Abstrak
Kajian dalam makalah ini mencoba membaca permainan (seni peran) aktor Tuti Indra Malaon dalam film-film yang diproduksi bersama Teater Populer. Aktor adalah salah satu elemen penting dalam sebuah film, namun sangat jarang menjadi topik pengamatan dalam sebuah kajian film. Pada umumnya, kajian film menganalisis film dalam kaitannya dengan berbagai disiplin lain, misalnya politik, sosial, budaya, hukum bahkan teknologi. Tantangan dalam kajian seni peran ini adalah memberikan makna kepada penampilan seorang aktor dalam film dimana ikut berperan di dalamnya. Tujuan kajian ini adalah usaha penulis untuk bisa menyimpulkan apa yang disebut dengan ‘seni peran’ Tuti Indra Malaon melalui film-fllm yang diperankannya. Penulis berusaha mencapai kesimpulan tersebut melalui pembacaan terhadap dua aspek, yaitu aspek visual (gerak tubuh dan ekpresi wajah) dan aspek bunyi (suara). Kajian seni peran ini secara umum bertujuan untuk memperlihatkan kontribusi seorang aktor, apapun kecilnya, terhadap keberhasilan sebuah film dalam
menyampaikan pesan atau isi cerita kepada penonton.

Bio:
Gaston Soehadi lahir dan besar, hingga menamatkan pendidikan sekolah menengah atas di Jember Jawa Timur. Setelah lulus Sarjana dari Universitas Kristen Petra Surabaya, ia melanjutkan pendidikannya untuk mendapat gelar pasca sarjana (M.A) dalam Applied Linguistics dari University of New South Wales Sydney dan (Ph.D) dalam Kajian Film dari Monash University. Saat ini, Gaston mengajar mata kuliah Linguistik Terapan dan Kajian Film di Universitas Kristen. Kegiatan lain yang pernah dilakukannya adalah menjadi juri dua kali di short film competition Indonesian Film Festival Melbourne dan membantu siaran Bahasa Indonesia Radio SBS Melbourne. Ia juga sempat diminta memberikan kuliah tamu di Monash University tentang film dan televisi di Indonesia, semasa menjadi mahasiswa di sana. Saat ini, Gaston membantu Australia-Indonesia Centre Monash (AIC) menyelenggarakan festival film dan lomba film pendek ReelOzInd di Australia dan Indonesia. Meskipun bukan seorang cinephile, ia berusaha mewajibkan dirinya menonton film minimal sebulan sekali di gedung bioskop. Hobinya yang sebenarnya adalah berenang, membaca dan berjalan kaki. Aktor-aktor film Indonesia favoritnya semasa kecil adalah Ateng, Iskak, Bing Slamet, Benyamin dan Ratmi B-29.

15.       Novi Kurnia, Universitas Gadjah Mada
            Email: novikurnia@ugm.ac.id, noniknovi@yahoo.com

“Dunia Dalam Genggaman Tangan”: Harapan dan Tantangan Sutradara Perempuan Indonesia Dalam Jaringan Film Internasional
Abstrak
Sejak berakhirnya sistem otoritarian Order Baru dan datangnya era reformasi, terdapat perubahan politik, sosial dan budaya yang signifikan. Salah satunya adalah industri film Indonesia yang tidak lagi Jakarta centris dan semakin ramah terhadap kedatangan sutradara dan pekerja film perempuan.

Tak jauh berbeda dengan hadirnya sutradara perempuan di berbagai negara di dunia yang membawa perubahan dalam wajah sinema global, hadirnya sutradara perempuan Indonesia sejak tahun 1998 juga membawa perubahan dalam politik gender sinema Indonesia. Dalam konteks produksi film, kehadiran mereka menjadikan industri film Indonesia tak lagi didominasi pria dengan kehadiran mereka berikut prestasi mereka di sinema nasional maupun internasional. Dalam konteks teks film, mereka menawarkan ragam representasi gender dan sebagian justru menantang stereotip perempuan dan laki-laki yang selama ini ada di layar lebar Indonesia. Dalam konteks aktivisme film, mereka juga terlibat dalam aksi menolak sensor film dan regulasi mengenai pornografi yang cenderung memfokuskan pada tubuh perempuan.

Untuk mengelaborasi relasi antara sutradara perempuan Indonesia dan sinema global, studi ini akan menjawab dua pertanyaan penting: bagaimana posisi sutradara perempuan Indonesia di antara sutradara perempuan di negara-negara lain di dunia? Bagaimana mereka terkoneksi dengan jaringan internasional dan dengan cara apa? Untuk menjawab pertanyaan ini, studi kasus ini akan menggunakan data dari berbagai variasi teknik pengumpulan data: wawancara, observasi dan analisis dokumen.

Temuan sementara penelitian ini adalah bahwa sutradara perempuan Indonesia termasuk dalam kategori pendatang baru dalam peta kontribusi sutradara perempuan dalam sinema global. Mereka bisa masuk dalam jaringan internasional karena berbagai faktor: pendidikan di luar negeri, pengalaman di luar negeri, dan atau kemampuan menguasai teknologi komunikasi informasi.

Studi ini penting untuk mendokumentasikan posisi, harapan, dan tantangan sutradara perempuan dalam jaringan film internasional agar bisa menjadi bagian dari perkembangan studi mengenai perempuan dan sinema global dalam dua dekade terakhir.

Kata kunci: sutradara film perempuan, jaringan film internasional, sinema global

Bio:
Novi Kurnia adalah staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan peneliti di Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Yogyakarta. Novi Kurnia menyelesaikan program doktoralnya mengenai sutradara film perempuan di Indonesia dari Flinders University (South Australia) tahun 2014. Ia menempuh program masternya di universitas sama dengan tesis tentang representasi poligami dalam sinema Indonesia (2007). Ia juga memperoleh gelar master dari Universitas Indonesia (2005) dengan tesis berjudul ekonomi politik industri perfilman Indonesia. Berbagai publikasi mengenai media, film, gender, regulasi media, dan literasi media diterbitkan di berbagai buku, artikel jurnal dan majalah baik di level nasional maupun internasional.

Panel 6. Kebijakan & Infrastruktur Film

16.       Imam Karyadi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, DIY
            Email: imam.karyadiaryanto@gmail.com

Dana Keistimewaan DIY untuk Pengembangan Perfilman di Daerah Istimewa Yogyakarta 2013-2016
Abstrak
Paper ini akan membahas bagaimana tata kelola pembiayaan pengembangan perfilman daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan menggunakan Dana Keistimewaan DIY. Penyaluran Dana Keistimewan DIY untuk pengembangan perfilman dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan DIY sejak tahun 2013. Bentuk-bentuk pengembangan perfilman daerah tidak terbatas pada insentif produksi akan tetapi termasuk dalam pengembangan apresiasi dan kajian pendukung kebijakan. Studi kasus dengan pendekatan kualitatif, ini akan berfokus pada kinerja Seksi, unit eselon IV pada Dinas Kebudayaan DIY dalam mengelola kegiatan pengembangan perfilman.

Keywords: governance, film , public policy, Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta  

Bio:
Pria kelahiran Magelang, 22 April, ini menyelesaikan pendidikannya di Program Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2015. Saat ini, Imam bekerja sebagai Perencana Fungsional pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia tertarik pada film sejak berkuliah di jurusan Ilmu Komunikasi, UGM, yang diselesaikannya pada tahun 2006. Sejauh ini, Imam telah menerbitkan tiga buku: Yesus di Hollywood (2009), Menatap Masa Depan ASN (2014, sebuah karya berkelompok), dan Festival Film di Daerah Istimewa Yogyakarta (2015). Buku yang disebutkan terakhir berangkat dari naskah penelitian tesisnya dan mendapatkan nominasi Apresiasi Film Indonesia (2015) untuk Kategori Kajian Film.

17.       Silvia Indah Rini dan Nurul Indarti, Universitas Gadjah Mada
Email: ir.silvia@gmail.com

Faktor-Faktor Penentu Kesuksesan Pelaksanaan Festival Film Di Indonesia
Abstrak
Festival film merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap karya film. Apresiasi tersebut sebagai wujud penghargaan atas kerja keras untuk seluruh awak pembuat film dan pemerannya. Karenanya, kesuksesan penyelenggaraan suatu festival menjadi hal penting. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi kriteria-kriteria dan faktor penentu sukses penyelenggaraan festival film di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan semi kualitatif dengan studi kasus beragam. Perspektif berbasis sumberdaya digunakan sebagai lensa memahami faktor kesuksesan. Lebih lanjut, penelitian ini memandang festival film sebagai suatu proyek yang mempunyai titik awal dan akhir.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan September hingga November 2016 dengan melakukan wawancara pada enam informan kunci yang berasal dari penyelenggara festival film, lembaga donor dan sponsor. Selain itu,  survei juga dilakukan pada 123 responden berlatar belakang berbagai profesi di industri festival film.

Festival film yang diteliti adalah festival film yang telah diselenggarakan minimal 5 (lima) kali berturut-turut oleh komunitas film atau pemerintah. Festival-festival film tersebut yaitu Balinale International Film Festival (Balinale), Festival Film Bandung (FFB), Festival Film Dokumenter (FFD), Festival Film Indonesia (FFI), Festival Film Pelajar Jogjakarta (FPPJ), Festival Film Purbalingga, dan Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF).

Penelitian ini berhasil mengeksplorasi 13 (tiga belas) kriteria sukses proyek festival film di Indonesia yang mencakup tujuh faktor non finansial dan tiga faktor finansial. Faktor-faktor non finansial meliputi 1) program acara festival, 2) manajemen/pengelolaan festival, 3) promosi dan publikasi festival, 4) kredibilitas penyelenggara festival, 5) strategi festival, 6) reputasi festival dan 7) tempat penyeleggaraan festival. Untuk faktor-faktor finansial terdiri dari 1) jumlah dana, modal dan aset festival, 2) jumlah sponsor, dan 3) kredibilitas sponsor. Tiga faktor yaitu 1) program acara festival, 2) manajemen festival, dan 3) promosi dan publikasi festival merupakan tiga faktor terpenting dalam penentu sukses. Penelitian ini juga mengidentifikasikan indikator kinerja utama dari masing-masing faktor penentu kesuksesan. Hasil penelitian diharapkan dapat mempertajam dan memperluas pemahaman literatur tentang kesuksesan festical film. Selain itu, pemangku kepentingan dapat mengambil tilikan temuan untuk perbaikan kinerja penyelenggaraan festival film khususnya di Indonesia.

Kata kunci: festival film, kiteria sukses, faktor-faktor penentu kesuksesan, indikator kinerja utama.

Bio:
Silvia Indah Rini mulai aktif di dunia film pada tahun 2012 saat bergabung dengan Fourcolours Films sebagai Office and Administration Manager.  Terlibat aktif dalam pendirian dan pengembangan Jogja Film Academy (sejak 2014) dan bergabung dengan Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) sebagai Finance Director. Selain di film, aktif sebagai pengajar tamu di Departemen Ekonomika dan Bisnis, Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tesis tentang Faktor-faktor Penentu Kesuksesan Pelaksanaan Festival Film di Indonesia merupakan tugas akhir sebagai syarat kelulusan di Magister Sains dan Doktor, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Januari 2017.
Filmografi: Siti/2014/Executive Producer, Turah/2016/Executive Producer

Nurul Indarti adalah staf pengajar di Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada dan saat ini menjabat sebagai Direktur Program Studi Magister Sains dan Doktor FEB UGM Bidang Manajemen. Penulis telah menyelesaikan berbagai jenjang pendidikan. Gelar SE (Sarjana Ekonomi) diperoleh dari FE UGM (1998); gelar Master of Business Administration (Sivilokonom) dari School of Management, University of Agder, Kristiansand, Norwegia (2002); gelar Master of Science in Strategic and Operations Management (Candidata Mercatoria) dari Norwegian School of Economics and Business Administration, Bergen, Norwegia (2003); dan terakhir gelar PhD. di bidang Knowledge Management and Innovation dari Faculty of Economics and Business, University of Groningen, Belanda (2007-2010).

Penulis pernah menempati beberapa posisi antara lain: 1) Wakil Deputi Operasional dan Manajemen Database di Small- and Medium-sized Enterprise and Development Centre (SMEDC) periode 2003-2005; 2) Wakil Direktur Pengembangan dan Penelitian Manajemen (PPM) FEB UGM periode 2005-2006; 3) Sekretaris Jurusan Manajemen FEB UGM periode 2010-2011; 4) Wakil Direktur Akademik dan Penelitian Magister Manajemen FEB UGM periode 2012; 5) Deputi Direktur Bidang Pelatihan di Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) FEB UGM (2013-2015). Penulis juga aktif melakukan kegiatan penelitian, konferensi, dan publikasi di berbagai jurnal nasional dan internasional. Bidang yang menjadi ketertarikan penelitian adalah manajemen pengetahuan, inovasi, kewirausahaan, manajemen proyek, dan perusahaan keluarga.


18.       Filosa Gita Sukmono dan Budi Dwi Arifianto, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
            Email: filosa2009@gmail.com

Ketika Komunitas Film Berbicara Lembaga Sensor Film
Abstrak
Sejak awal kemunculannya dalam perkembangan film Indonesia, Badan Sensor Film menuai banyak tantangan dari penggiat film sendiri, karena alih-alih men-sensor hal-hal yang merugikan masyarakat, lembaga ini justru terkadang “mencederai” film sendiri, baik dari aspek kritisnya ataupun aspek seni dari sebuah film. Badan Sensor Film sendiri sejak tahun 1994 berganti nama menjadi Lembaga Sensor Film (LSF), yang kemudian lewat UU No 33 2009 mulai mendirikan LSF di daerah, LSF di daerah ini juga kemudian menimbulkan “gejolak” dan problematika di kalangan penggiatan film di daerah.

Tulisan ini lahir dari sebuah "mini riset” yang berawal dari keingintahuan penulis tentang pandangan komunitas film terhadap LSF di daerah, kemudian penulis melakukan Focus Group Discussion (FGD) yang khusus membahas tentang problematika LSF Daerah dalam kacamata filmmaker di Yogyakarta yang tergabung dalam beberapa komunitas film.

Hasil tulisan ini nantinya akan menunjukkan poin-poin penting dari komunitas film tentang lembaga sensor film yang seharusnya bisa dijadikan evaluasi lembaga tersebut. Selain itu tulisan ini juga menggambarkan tentang pandangan para filmmaker Yogyakarta tentang LSF di Daerah. 

Kata Kunci :Film Indonesia,  Lembaga Sensor Film Daerah dan Komunitas Film

Bio:
Filosa Gita Sukmono adalah Dosen Ilmu Komunikasi UMY dan Redaktur Jurnal Komunikator UMY. Menyelesaikan jenjang Sarjana Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang kemudian mendapatkan gelar “Master of Art” di Prodi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Doktoral Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran Bandung. 

Dia aktif dalam sejumlah penelitian terkait kajian media, iklan dan isu-isu multikultur. Selain itu sempat menulis dibeberapa buku bersama koleganya dalam Ekonomi Politik Media : Sebuah kajian Kritis (2013), Sport, Komunikasi dan Audiens (2014), Di tahun yang sama juga menulis buku Komunikasi Multikultur : Melihat Multikulturalisme dalam Genggaman Media (2014), Cyberspace and Culture : Melihat Dinamika Budaya Konsumerisme, Gaya Hidup dan Identitas dalam Dunia Cyber (2015). Buku terbaru yang ditulis adalah Jurnalisme Sensistif Bencana : Panduan Peliputan Bencana (2017). Beberapa tulisan ilmiah terkait dengan Globalisasi Televisi, Jurnalisme Warga, Jurnaslime Sensistif bencana, Ruang Publik, New Media dan Komunikasi Multikultur telah dipublikasikan di beberapa jurnal nasional. Saat ini sedang fokus dalam penelitian-penelitian tentang film Indonesia dan isu-isu multikultur di media.

19.       Dyna Herlina S, M.Sc, Universitas Negeri Yogyakarta
Kurniawan Adi Saputro, Ph.D, Institut Seni Indonesia
Firly Annisa, MA, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Bheti Krisindawati, S.Kom, Rumah Sinema
            Email: dyna.herlina@gmail.com

Siapa dan Bagaimana Penonton Bioskop Hari Ini? Penelitian Tiga Kota: Jakarta, Bandung, Surabaya
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik siapa dan bagaimana prilaku penonton bioskop saat ini di tiga kota: Jakarta, Surabaya, Bandung sebagai kota-kota dengan jumlah penonton bioskop terbanyak. Karakteristik penonton ditentukan berdasarkan profil demografis, sedangkan prilaku dirumuskan melalui fragmentasi, faktor yang memengaruhi keputusan dan segmentasi. Metode penelitian yang digunakan adalah campuran dengan menggabungkan pengambilan data dari survei dan focus group discussion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penonton film bioskop adalah anak muda dengan keterbatasan uang dan waktu. Saluran konsumsi film secara umum terbagi menjadi 2, yaitu rumah dan bioskop. Terdapat 14 faktor yang penting dalam pemilihan film di bioskop selanjutnya penonton menggunakan metode evaluatif, komparatif, dan antisipatif. Terbentuk 2 segmen penonton bioskop yang terbedakan berdasarkan pemilihan media: massa dan internet.

Kata Kunci: penonton bioskop, demografi, prilaku, fragmentasi, pengambilan keputusan, segmentasi

Bio:
Dyna Herlina adalah pendiri dan peneliti di Rumah Sinema, sebuah organisasi nirlaba untuk kajian media dan khalayak serta pendidikan bermedia, sejak 2002. Dia juga menjadi Co-founder Jogja Netpac Asian Film Festival sejak 2006, festival film berbasis komunitas film di Yogyakarta untuk Film Asia. Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Univ. Negeri Yogyakarta sejak 2014.

Panel 7. Promosi & Distribusi Film

20.       Citra Dewi, Institut Seni Indonesia, Surakarta
Email: citra_de@yahoo.com

Siti, Dari Produksi Sidestream ke Ruang Putar Mainstream: Siklus Hidup Sebuah Film
Abstrak
Ruang eksebisi mainstream masih menjadi salah satu target utama bagi filmmaker yang memproduksi film secara sidestream di tengah banyaknya ruang-ruang eksebisi alternatif yang kian beragam saat ini. Pemutaran keliling baik secara mandiri maupun kolektif, festival, penjualan DVD dan melalui media baru adalah ruang-ruang eksebisi yang secara ekonomi lebih menguntungkan dibanding dengan pemutaran di jaringan bioskop. Studi kasus pada Film Siti karya Edi Cahyono, hal tersebut jelas terlihat perbandingannya. Siklus hidup film Siti yang lahir dari sistem produksi sidestream hingga mampu menapaki ruang eksebisi mainstream dan semakin diperpanjang melalui pembuatan versi berwarna yang sebelumnya mengedepankan konsep hitam putihnya. Sebenarnya, nilai apa dan siapa yang berperan penting dalam siklus hidup sebuah film?

Konten yang dihadirkan, sutradara, produser, kurator festival, reviewer media sosial ataukah ada pihak lain yang mengambil peran? Tulisan ini akan membahas tentang perjalanan distribusi film Siti melalui hasil wawancara terhadap orang-orang berperan di dalamnya serta mengetengahkan arsip-arsip dari rumah produksinya.

Bio:
Citra Dewi Utami berbekal pengalaman dalam pengelolaan produksi film aktif melakukan penelitian terapan terkait literasi khalayak untuk memproduksi karya audio visual. Saat ini bertugas sebagai staf pengajar Prodi Televisi dan Film serta redaktur jurnal Capture di ISI Surakarta. Alumni Prodi Kajian Budaya dan Media sekolah pascasarjana UGM ini sedang asyik mempersiapkan naskah film panjangnya sembari menanti kelahiran anak keduanya.

21.       Lulu Ratna, Organisasi Boemboe
            Email: lu2ratna@gmail.com

Berjejaring dan Berbagi Melalui Boemboe Forum
Abstraksi
Boemboe Forum adalah ruang pertanggungjawaban kreatif pembuat film pendek Indonesia terhadap pilihan artistik karyanya. Dalam forum ini setiap peserta forum melakukan presentasi, pemutaran dan diskusi karyanya masing-masing bersama penonton yang hadir. Forum pembuat film pendek Indonesia ini berada dalam skala kecil yang intens, diluar festival film dalam skala yang lebih besar. Organisasi boemboe yang berdiri sejak 2003 menjadi pengagas, penyelenggara dan pelaksana forum tahunan ini.

Dilaksanakan sejak 2004 di berbagai ruang pemutaran film alternatif di Jakarta (kecuali pada tahun 2012), Organisasi boemboe selain membangun jaringan kerja dengan berbagai organisasi pengelola ruang putar film alternatif Jakarta, juga menghubungkan para pembuat film pendek lintas genre yang diundang menjadi peserta Boemboe Forum. Selama 14 tahun, total Boemboe Forum telah mengundang 89 pembuat film pendek dari 17 kota yang mempresentasikan 83 film pendek Indonesia.

Melalui tulisan ini penulis menjelaskan mengapa forum ini ada dan terus bertahan hingga sekarang serta dinamika pelaksanaan acara dari sudut pandang penyelenggara acara. Penulis juga membahas tentang apa kriteria pemilihan peserta forum beserta karya yang dipresentasikan serta bagaimana mereka ditemukan.

Tata kunci: film pendek Indonesia, forum pembuat film pendek, jaringan kerja

Bio:
Sri Ratna Setiawati atau lebih dikenal dengan nama Lulu Ratna lahir di Jakarta. Lulus dari Antropologi, Universitas Indonesia 1997. Pernah bekerja mengorganisir dan membuat program di beberapa festival film, seperti Jakarta International Film Festival 1999, Festival Film-Video Independen Indonesia (2000-2002), Festival Film Indonesia/FFI (2004, 2011, 2014), Europe on Screen (2007-2011) dan Festival Film Dokumenter Asia Tenggara “ChopShots” (2012 & 2014). Menjadi juri di beberapa festival film nasional dan internasional, diantaranya Hamburg International Short Film Festival 2003, Amnesty International-DOEN Award Rotterdam Film Festival 2005, Tampere Film Festival 2007, kategori film pendek Jogja-Netpac Asian Film Festival 2011, kategori film dokumenter XXI Short Film Festival 2013 dan kategori film pendek FFI (2005, 2006, 2015, 2016). Sejak 2003 aktif di Organisasi Boemboe yang fokus pada promosi/distribusi film pendek Indonesia dan sejak 2012 juga aktif memberikan workshop festival film bersama COFFIE (Coordination for Film Festival in Indonesia). Saat ini bekerja sebagai Sekretaris Komite Film, Dewan Kesenian Jakarta periode 2015-2018 dan sejak 2016 menjadi Dosen Tidak Tetap di FTV Fakultas Seni & Desain, Universitas Multimedia Nusantara, Serpong.

22.       Irham Nur Anshari, Universitas Gadjah Mada
Email: irham.anshari@gmail.com

“Ngopi Film di Warnet”: Sirkulasi Film dalam Lingkup Media Baru
Abstrak
Perkembangan teknologi yang telah mentransformasi medium film ke dalam bentuk digital memungkinkan cara-cara baru bagaimana film dapat bertemu audiens. Film tak lagi perlu disaksikan di layar lebar, namun telah menyebar ke layar kaca hingga layar-layar monitor personal audiens. Tulisan ini merupakan refleksi atas riset peneliti sebelumnya mengenai praktik mengopi (to copy) film melalui warnet di Yogyakarta. Tulisan ini berfokus pada praktik sirkulasi film dalam lingkup media baru. Berbeda dengan praktik “distribusi”, “sirkulasi” dalam konteks ini merujuk pada bagaimana inisiatif produsen bertemu dengan inisiatif “akar rumput” dalam mempertemukan film dengan audiens. Sirkulasi film melalui praktik mengopi film di warnet ini menjadi penting untuk dicermati mengingat praktik ini berimplikasi pemaknaan yang baru atas praktik-praktik seperti mengoleksi film dan mengurasi film. Praktik ini juga menimbulkan pertanyaan pada definisi film di tengah produk audio-visual lain.

Bio:
Irham Nur Anshari merupakan staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada (UGM). Irham menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM pada tahun 2010, serta studi master di Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pasca Sarjana, UGM, pada tahun 2014. Di luar kesibukannya di UGM, Irham tergabung dalam lembaga riset Study on Art Practices dan aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, seperti Biennale Jogja dan Festival Film Surabaya. Minat kajiannya seputar film, seni visual, program televisi, dan media sosial. Tulisannya telah dimuat di beberapa jurnal, buku, dan media massa.

Panel 8. Film di Luar Bioskop

23.       Dra. Andarwati, MA, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
            Email: Andarwati1965@gmail.com

Film Sebagai Media Promosi Bisnis: Analisis Fungsi Sitkom “Malang Melintang” Sebagai Media Promosi Bisnis Malang Strudel
Abstrak
Bermunculannya berbagai macam media sosial online menyebabkan film tidak hanya berfungsi untuk menghibur, mendidik, dan memperluas wawasan kehidupan bagi pemirsanya tetapi telah berkembang luas lagi, antara lain sebagai media promosi bisnis. Berdasarkan sumber data yang terdiri dari teks-teks berita tentang proyek sitkom “Malang Melintang” dan video cerita sitkom “Malang Melintang” di You Tube, artikel ini bertujuan untuk mendiskripsikan fungsi sitkom “Malang Melintang” sebagai media promosi bisnis Malang Strudel milik pesinetron Teuku Wisnu dkk. menggunakan pendekatan tekstual dokumenter  dan estetika resepsi dipandang dari teori promosi menurut Dr. Bayu Swastha DH, SE. M.BA dan Ibnu Sukotjo W.,S.E. Hasil analisis menunjukkan adanya fungsi sebagai media untuk mempromosikan bisnis Malang Strudel pada proyek sitkom “Malang Melintang” yang bentuk kegiatannya berupa (a) periklanan, (b) personal selling, (3) promosi penjualan, (4) publisitas dan hubungan masyarakat. Analisis pada ranah kritik sastra terhadap cerita dalam video sitkom “Malang Melintang” juga menunjukkan adanya fungsi sebagai media untuk mempromosikan bisnis Malang Strudel yang berupa kegiatan (1) personal selling dan (2) publisitas dan hubungan masyarakat yang terdapat di unsur-unsur cerita sitkom pada tiap-tiap episodenya terutama pada unsur lagu pembuka dan/atau penutup cerita, latar cerita dan isi dialog antar tokoh cerita.

Kata kunci:  media, promosi bisnis, sitkom, Malang Melintang, Malang Strudel, estetika resepsi.

Bio:
Profesi/Keahlian: seniman, pendidik, pengkaji film, penulis, sastrawati, peneliti. Sebagai seorang seniman: (1) Menjadi Juara I Lomba Tari Klasik antar Sekolah Dasar se-kota Magetan (1978), pernah menarikan/melatih berbagai macam tarian Jawa klasik sejak SD hingga Perguruan Tinggi di acara-acara perayaan atau akademik, antara lain tari “Petik Teh”, tari “Gambir Anom”, tari “Kijang”, tari “Kupu-kupu”, tari “Gambyong”, tari “Golek Srimpi”, tari “Orek-orek”, tari “Merak Subal”, (2) Menjadi Juara II Lomba Pop Singer se-kota Magetan (1983). Memenangkan beasiswa dari Mobil Oil Inc. untuk program pendidikan S1 di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang), lulus tahun 1989. Memenangkan beasiswa dari Bank Dunia untuk program pendidikan S2 di Jurusan Language Arts in Education Universitas Iowa Amerika Serikat, lulus tahun 1996. Memenangkan beasiswa dari Kementrian Agama Republik Indonesia untuk program Short Course Academic Writing di National University of Singapore (NUS) Singapura (2009). Sebagai seorang pendidik: Menjadi Dosen PNS di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Humaniora, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang sejak tahun 2000 dengan spesialisasi mengajar mata kuliah English Drama, Advanced Drama, Speaking dan Creative Writing. Hobi menonton film untuk menambah pengetahuan dalam pengkajian film untuk diajarkan kepada mahasiswa. Film-film tersebut antara lain (1) Film Indonesia: film religi (misalnya “Tukang Bubur Naik Haji”, “Para Pencari Tuhan”,“Mengaku Rasul”),  film drama percintaan (misalnya “Gita Cinta dari SMA”, “Puspa Indah Taman Hati”, film horror/historis/misteri (misalnya film-film yang dibintangi oleh Suzanna), dan film komedi (misalnya “WARKOP”, “Malang Melintang”), (2) Film luar negeri: science fiction (misalnya “Lake Pacit”), spionase (misalnya James Bond), film drama keluarga (misalnya “Mohabbaten”). Menulis: 7 buku diktat pengajaran ESP (English for Specific Purposes) dan artikel-artikel berbahasa Indonesia atau berbahasa Inggris di jurnal dan majalah kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Melakukan 11 kali penelitian di bidang pendidikan Bahasa Inggris. Menghasilkan buku karya sastra: “Puisi-puisi Cinta Terfavorit Sepanjang Masa” (2013) dan tertarik untuk menulis cerpen dan skenario film.

24.       Ratna Erika M. Suwarno, Universitas Padjadjaran
            Email: ratna.erika@unpad.ac.id

Eksotisme Ruang Waktu dalam Webseries Kontemporer Indonesia
Abstrak
Tren film seri web (webseries) dalam perfilman Indonesia telah berlangsung dan berkembang dalam beberapa tahun terakhir ini. Bentuk film berdurasi pendek dan narasi film yang langsung dan tanpa plot berbelit menjadi salah satu pilihan dari bentuk dan narasi film Indonesia. Adalah sebuah ciri sinematografis dari tren film seri web untuk menggunakan gambar cantik (beauty shot) dan setting cerita dan/atau lokasi pengambilan gambar di tempat eksotis. Dalam media baru digital ini, bentuk film seri web Indonesia secara khusus seringkali berfokus pada tema eksotisme dalam perjalanan, dalam pertemuan di tempat asing, dan dalam keseharian istimewa. Setting atau lokasi dalam beberapa film seri web menjadi sebuah kemasan utama yang signifikan dalam pembahasan kali ini. Dalam beberapa film seri web yang dibahas saya mencoba mengetengahkan argumen bahwa eksotisme yang tersaji mengkonstruksi sebuah bentuk kedekatan baru pada ruang-waktu kini dan kontemporer dan sebuah pendekatan baru pada penonton muda yang melek teknologi visual. Lewat kedekatan dan pendekatan ini, saya berargumen bahwa film seri web lantas menjadi sebuah media baru yang menawarkan tatanan sinematografis ruang-waktu baru dalam relasinya dengan konektivitas karya dan interaksi (langsung) penonnton dalam distribusi digital global.

Kata kunci: eksotisme, film seri web, new media, setting, spasiotemporal.

Bio:
Ratna Erika M. Suwarno mengajar di Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran dan juga bekerja dalam produksi film di Bandung. Ia mempunyai ketertarikan ilmiah dan melakukan kajian ilmiah berkaitan dengan topik kesusasteraan dunia, writing space/place, produksi film (dokumenter), budaya Internet Indonesia, dan kajian terjemahan.

Panel 9. Film & Sejarah I: Film, Tragedi, Trauma

25.       Adrian Jonathan Pasaribu, Cinema Poetica
Email: adrianjonathan@bpi.or.id

Sejarah Sinematik Peristiwa 1965 dan Penumpasan Unsur-Unsur Progresif di Indonesia
Abstrak
Selama ini identitas sinematik peristiwa 1965 identik denganPenghianatan G30S/PKI. Saban 30 September film propaganda produksi negara itu menjadi tontonan wajib masyarakat, melalui penayangan serentak di jaringan televisi nasional dan acara nobar wajib di bioskop bagi pelajar sekolah. Penghianatan G30S/PKI tak lagi wajib tayang melalui keputusan Menteri Penerangan pada September 1998, tapi narasi yang ditawarkan film itu kadung melekat di benak warga. Bahwasanya PKI dan antek-anteknya adalah pembelot negara yang menyebarkan ideologi anti-tuhan anti-Pancasila, dan bangsa Indonesia selamat dari kudeta komunis berkat solidaritas warga dan ketangguhan tentara.

Pasca 2012 narasi lain tentang peristiwa 1965 hadir melalui Jagal dan Senyap. Kedua dokumenter produksi Joshua Oppenheimer dan kawan-kawan itu beredar melalui penayangan-penayangan yang diselenggarakan masyarakat – kebanyakan dari kalangan aktivis, mahasiswa, dan komunitas film – di berbagai ruang publik. Berbeda dengan narasi resmi pemerintah, Jagal dan Senyap membingkai Orde Baru sebagai rezim politik yang berdiri di atas genosida, yang diprakarsai oleh sekelompok warga yang bertindak sebagai algojo atas nasib sejumlah warga lain. Setiap tumpah darah disahkan atas nama pembersihan bangsa dari unsur-unsur komunis, yang dipicu oleh kontestasi politik selama Perang Dingin.

Tentunya tiga film tidaklah cukup untuk membahasakan segala kompleksitas peristiwa 1965. Nyatanya, dari 1968 sampai dengan 2017, tercatat ada 78 film yang membahas 1965, baik peristiwanya maupun konsekuensi-konsekuensinya. Kepentingan produksinya beragam, baik sebagai ungkapan artistik, pelumas mesin propaganda negara, penakaran skala penindasan dan ketidakadilan, maupun upaya advokasi dan pengungkapan fakta. Masing-masing film bertutur dengan dimensi bahasannya tersendiri, dan menyebar di masyarakat melalui berbagai jalur distribusi. Capaiannya beragam.

Tulisan ini mengulas sejauh mana kompleksitas peristiwa 1965 terbahasakan melalui film, dan bagaimana kontribusinya di tengah upaya pembentukan makna dan penyebaran wacana di ruang publik . Tulisan ini sejatinya adalah catatan selama proses penyusunan 65 film 65 literatur hasil kolaborasi antara Cinema Poetica dan Marjin Kiri yang direncanakan terbit pada awal 2018.

Bio:
Salah satu pendiri Cinema Poetica—kolektif kritikus, jurnalis, peneliti, dan pegiat film yang berfokus pada produksi dan distribusi pengetahuan tentang sinema untuk publik. Ia percaya dialektika tidak saja mengatur hajat hidup warga, tapi juga perkara asmara. Dari 2007 sampai 2010, mondar-mandir sebagai pengurus program di Kinoki, bioskop alternatif di Yogyakarta. Sempat terlibat di filmindonesia.or.id sebagai anggota redaksi, Festival Film Solo sebagai kurator, dan Berlinale Talent Campus 2013 sebagai kritikus film. Saat ini aktif menulis dan meneliti tentang perfilman Indonesia, serta mengadakan lokakarya kritik film di berbagai kota.

26.       Debby Dwi Elsha, Universitas Teknologi Yogyakarta
Email: debbyelsha@gmail.com

Wacana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Pada Peristiwa Pemberantasan Komunis Tahun 1965 Dalam Film Senyap
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan analisis wacana tentang pelanggaran hak asasi manusia dalam film dokumenter, The Look of Silence (Senyap, 2014), yang mengungkapkan adanya tindakan genosida, impunitas dan kebutuhan rekonsiliasi. Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis Norman Fairclough tentang wacana perubahan sosial dan metode analisis wacana visual Gillian Rose. Temuan tersebut menunjukkan bahwa wacana dalam teks visual dan verbal cenderung mengarahkan pemirsa untuk mempercayai kebenaran bahwa komunis adalah korban pelanggaran hak asasi manusia dengan berbagai cara, yang tidak obyektif dan justru provokatif. Misalnya dengan menghadirkan banyak shot yang menunjukkan ketegangan yang berlawanan antara kedua belah pihak dan memberikan informasi yang tidak seimbang dan tidak lengkap, menimbulkan konflik dan cenderung menjadi propaganda. Pada tingkat analisis praktik wacana juga menunjukkan hubungan kekuasaan seperti kepentingan politik yang mencoba melawan wacana dominan yang ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru dan juga dimaksudkan untuk pemerintahan sekarang. Dalam analisis sosiokultural menemukan adanya perubahan sosial di mana orang, institusi dan organisasi bersama dengan pemerintah lebih memperhatikan, memberikan lebih banyak umpan balik dan tindakan mengenai isu pelanggaran hak asasi manusia dalam pemberantasan komunis Indonesia di tahun 1965 setelah The Look of Silence diputar secara masif di berbagai daerah.

Bio:
Bergabung dalam komunitas film independen yang berbasis di Yogyakarta bernama “Montase” sejak 2009. Montase berfokus pada produksi, apresiasi dan edukasi.  Rutin menulis artikel tentang film yang dipublikasikan melalui website montasefilm.com. Berpengalaman produksi film independen fiksi pendek dan panjang serta film dokumenter. Salah satu film yang saya sutradarai berjudul “The Colors of Mind” (2016) yang merupakan film multiplot dengan tema problematika perempuan dalam hubungan percintaan. Film ini telah didistribusikan ke berbagai festival baik lokal, nasional maupun internasional.
Menempuh pendidikan pascasarjana di program studi ilmu komunikasi Universitas Gadjah Mada dengan tesis berjudul “Wacana Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada Peristiwa Pemberantasan Komunis Tahun 1965 Dalam Film Senyap”. Saat ini mengajar di program studi ilmu komunikasi Universitas Teknologi Yogyakarta. Mendirikan kine klub dengan tujuan mengedukasi mahasiswa agar dapat menghasilkan karya baik berupa film maupun tulisan apresiasi film.

Menonton film dari berbagai tema, jenis, genre dan negara. Menyukai film-film spionase khususnya seri film James Bond, film drama dengan tema kemanusiaan dan cinta, serta film animasi dengan pesan moral yang kuat. Salah satu film favorit saya adalah film antologi komedia dari Italia berjudul Ieri, Oggi, Domani (Yesterday, Today and Tomorrow) garapan Vittorio de Sica tahun 1963. Tertarik untuk berfokus pada kajian film yang menyoroti perempuan dalam kaitannya dengan gender, feminisme dan seksualitas. Untuk itu, saya juga membaca banyak buku tentang film yang dapat menunjang pengetahuan dan kemampuan saya sebagai pegiat, peneliti dan kritikus film.

27.       Budi Irawanto, Universitas Gadjah Mada
Email: budiirawanto@yahoo.com

Terorisme, Trauma dan Sinema: Telaah  atas Film Dokumenter Penjara dan Nirwana (2010)
Abstrak
Peristiwa bom Bali pada 12 Oktober 2002 telah menorehkan reputasi buruk Indonesia sebagai lahan gembur bagi aksi terorisme di kawasan Asia Tenggara. Memakan waktu sekitar tujuh tahun (2003-2010) dalam proses produksinya, film karya Daniel Rudi Haryanto bertajuk   Penjara dan Nirwana (Prison and Paradise, 2010) secara mengagumkan mampu merekam  pengakuan para pelaku bom  Bali, tetapi juga ikhtiar rekonsiliasi antara keluarga korban  dengan keluarga pelaku pemboman.  Meraih penghargaaan The Director Guild of Japan pada festival dokumenter prestisius Yamagata International Documentary Film Festival 2011 serta berkeliling ke sejumlah festival film internasional, dokumenter ini justru mengundang sensor negara karena dianggap bisa mengilhami tindakan terorisme atau menjadi bagian  dari  kampanye para teroris.

Oleh karena itu, makalah ini hendak menelaah konstruksi terhadap para pelaku pemboman beserta gagasan yang diyakininya serta  siasat mengungkap trauma keluarga korban dalam film Penjara dan  Nirwana. Dalam makalah ini, saya berargumen bahwa kendati film Penjara dan Nirwana mampu menggali motif pelaku pemboman dan mengulik pengalaman keluarga korban, ia masih menyisakan persoalan sebagai medium bagi proses penyembuhan trauma sebagaimana diintensikan oleh sang pembuat film. Ini karena hasrat pembuat film menggali informasi justru mengungkit sesuatu yang barangkali hendak dilupakan oleh keluarga korban serta kehendak mengusut motif para pelaku pemboman bisa terjatuh menjadi medium diseminasi ideologi para teroris jika tidak direpresentasikan secara  kritis. Di samping itu, film Penjara dan Nirwana tanpa sikap kritis cenderung bersandar pada opini pakar terorisme yang menjadi salah satu subjek dalam dokumenter tersebut.    

Kata Kunci: film dokumenter, terorisme, korban,  penyembuhan trauma

Bio:
Budi Irawanto merampungkan studi doktoralnya pada Department of Southeast Asian Studies di National University of Singapore dan menulis disertasi tentang politik kultural sinema kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Selain mengajar pada Departemen Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada, sejak 2006, ia berkidmad sebagai direktur Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) serta beberapa kali diundang sebagai  juri dalam  pelbagai festival film nasional maupun internasional.


Panel 10. Film & Sejarah II: Sejarah Film, Film Sejarah

28.       Christopher Woodrich, Universitas Gadjah Mada
Email: chris_woodrich@hotmail.com

Ekranisasi Awal: Pengalihan Novel ke Bentuk Film di Hindia Belanda
Abstrak
Penelitian ini membahas ekranisasi, yang dipahami di sini sebagai pengalihan novel ke bentuk film bioskop, sebagaimana dipraktikkan di Indonesia pada zaman kolonial. Dalam penelitian ini, konsep Weber mengenai tindakan sosial—sebuah tindakan yang dilakukan oleh individu dengan tujuan berinteraksi dengan masyarakat dan mencapai tujuan tertentu—diterapkan, dan data diambil dari sumber sekunder melalui kajian pustaka. Ditemukan bahwa praktik ekranisasi dimulai di Hindia Belanda pada tahun 1927 dengan difilmkannya Eulis Atjih oleh G. Krugers dan berakhir pada tahun 1942 dengan difilmkannya Siti Noerbaja oleh Lie Tek Swie. Ada sebanyak sebelas film dibuat berdasarkan novel di dalam kurun waktu ini, dengan beberapa film dibuat berdasarkan novel yang sama. Ekranissasi ini dikerjakan oleh sembilan produser dan sutradara dari berbagai latar belakang etnis. Proses rasionalisasi yang melatarbelakangi tindakan ekranisasi sangat praktis, yaitu eksploitasi karya popular untuk memperoleh penonton yang paling banyak melalui karya yang teksnya ditransformasi berdasarkan medium yang digunakan serta perubahan dalam masyarakat. Karya yang diangkat pada umumnya sudah pernah dijadikan drama panggung sebelumnya, sehingga penonton yang diraih lebih banyak daripada seandainya mereka hanya mengandalkan novel aslinya. Karya diangkat juga dengan pertimbangan temanya yang laris serta ada-tidaknya unsur yang menyudutkan kelompok tertentu. Secara komersial maupun kritikal, film yang diangkat dari novel pada masa ini tidak dapat dibedakan dari karya-karya "asli".

Bio:
Christopher A. Woodrich adalah seorang kandidat doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sekaligus koordinator pada International Indonesia Forum. Dia sering menulis artikel, baik yang berbahasa Inggris maupun yang berbahasa Indonesia, mengenai sastra, perfilman, dan kaitan antara keduanya. Tulisannya yang sudah terbit termasuk "Between the Village and the City: Representing Colonial Indonesia in the Films of Saeroen" (Social Transformation, 2015), "Sexual Bodies, Sensual Bodies: Depictions of Women in Suharto-Era Indonesian Film Flyers (1966–1998)" (Indonesian Feminist Journal, 2016), dan "Implikasi Metodologis dari Teori Ekranisasi George Bluestone dalam Buku Novels into Film" (Lingua Idea, 2016). Dalam waktu luangnya, dia mengoleksi dan mendigitalisasi karya sastra Indonesia serta dokumen dari sejarah perfilman. Salah satu usahanya dalam bidang ini adalah "Indonesian Film Poster Archive", yang berisikan lebih dari 500 selebaran dan iklan film dapat diakses melalui Flickr di https://www.flickr.com/photos/indonesianfilmposterarchive/albums.

29.       Luqman Abdul Hakim, SMA MUhammadiyah 3 Jakarta
Email: lqmnhkim@gmail.com

Sejarah Dalam Sinema: Refleksi Perkembangan Film Sejarah di Indonesia
Abstrak
Makalah ini berusaha memaparkan sebuah perkembangan dari film sejarah di Indonesia. Perkembangan film sejarah di Indonesia selama ini masih dianggap sebagai sebuah medium yang massif untuk menghadirkan masa lalu bangsa Indonesia yang pantas untuk diingat sebagai sebuah memori kolektif masyarakat. Banyaknya intervensi baik ditingkat pendanaan produksi, distribusi hingga problem sensor merupakan kondisi yang membatasi perkembangan film sejarah. Film sejarah sebagai sebuah genre film, merupakan sesuatu hal yang masih belum mendapat perhatian lebih dalam untuk dikaji. Perdebatan mengenai film sejarah, selalu terjebak dalam perdebatan tentang keakuratan masa lampau yang direpresentasikan melalui film. Perdebatan ini, yang mendudukkan posisi film sejarah lebih inferior ketimbang sejarah tertulis, seperti memaksakan bahwa film sejarah harus mampu menghadirkan kebenaran sejarah seperti halnya yang dikerjakan sejarawan. Padahal, menurut Rosenstone, masa lalu yang dihadirkan dalam film sejarah tidak dapat dibandingkan secara sepadan dengan sejarah yang dihasilkan sejarawan (historiografi). Melalui studi pustaka terhadap beberapa jurnal dan buku yang membahas tentang film sejarah, makalah ini ingin menunjukkan bahwa film sejarah sebagai genre memiliki keunikan dan fungsi khusus dalam menghadirkan masa lalu. Sejarah dalam sinema memiliki keunggulan yaitu representasi dan pencitraan yang lebih riil terhadap masa lalu merupakan bekal bagi arah baru film sejarah di Indonesia sebagai sebuah genre film.

Bio:
Luqman Abdul Hakim adalah alumni Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang sekarang berprofesi sebagai tenaga pendidik di SMA Muhammadiyah 3 Jakarta. Semasa kuliah dia aktif di beberapa komunitas literasi (gerakanaksara.blogspot.co.id; Komunitas Kandang Buku) yang fokus pada kajian sejarah dan ilmu sosial. 

30.       Dr Thomas Barker, University of Nottingham Malaysia Campus
Ekky Imanjaya, University of East Anglia dan Universitas Bina Nusantara
Email: thomas.barker@nottingham.edu.my

Film Eksploitasi Transnasional di Asia Tenggara: Kasus-kasus Indonesia dan Filipina
Abstrak
Indonesia dan Filipina mengembangkan bioskop eksploitasi pada tahun 1970an dan 1980an yang dipasarkan dan diekspor ke luar negeri. Judul ikonik yang diproduksi selama era ini termasuk Women in Cages (1971) dan Vampire Hookers (1978) dari Filipina dan The Queen of Black Magic (1981) dan Lady Terminator (1989) dari Indonesia. Di kedua negara tersebut, pembuatan film eksploitasi terjadi di bawah naungan otoritarianisme: Orde Baru di Indonesia (1966-1998) dan kepresidenan Ferdinand Marcos di Filipina (1965-1986). Dengan menelusuri perkembangan bioskop eksploitasi di Indonesia dan Filipina, presentasi ini menunjukkan bagaimana film eksploitasi dikembangkan di dua negara Asia Tenggara di bawah kondisi lokal yang berbeda yang mencakup beberapa pendorong, pemain, dan faktor struktural yang berbeda. Pada saat yang sama, walaupun kedua negara tersebut terlibat dalam pasar film eksploitasi transnasional yang menghubungkan kedua negara dengan tren yang lebih besar, hubungan antara Indonesia dan Filipina belum digambarkan sampai saat ini.

Di Filipina pada akhir 1960-an, pembuat film seperti Eddie Romero dan Gerardo de León tidak memiliki modal produksi setelah kemunduran Era Studio, dan mendapati diri mereka bekerja dengan produsen Amerika seperti Roger Corman mencari lokasi murah untuk membuat gambar eksploitasi untuk pasar grindhouse, drive-in dan b-grade di Amerika Utara. Secara umum, film-film ini dibingkai oleh hubungan kolonial dengan Amerika Serikat. Sebaliknya, di Indonesia, serangkaian kebijakan lokal yang berlawanan mendorong sekelompok kecil produsen komersial lokal dengan ambisi global ke dalam rangkaian eksploitasi internasional. Kedua industri tersebut terjalin di berbagai titik termasuk di pasar film, konten, dan terjemahan genre eksploitasi dalam gaya pembuatan film Asia Tenggara.

Bio:
Thomas Barker adalah staff akademis di the School of Modern Languages and Cultures, University of Nottingham Malaysia Campus. Sebelumnya dia adalah asisten peneliti di Institute for Social Science Research, University of Queensland, dan Visiting Fellow di Departemen Sosiologi National University of Singapore (NUS). Gelar PhD dalam Sosiologi dia peroleh di NUS dan sebelumnya dia merupakan peneliti di the Centre for the Study for Social and Southeast Asian Studies (PSSAT), Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Hingga saat ini, topik penelitiannya berkisar pada masalah-masalah film dan media di Asia Tenggara.

31.       Ekky Imanjaya, University of East Anglia dan Universitas Bina Nusantara
Email: eimanjaya@gmail.com

Mengapa Orde Baru Mengekspor Film-Film Yang Sebenarnya Tak Mereka Inginkan? : Prokjatap Prosar
Abstrak
Sebagaimana dibahas oleh mayoritas akademisi, kritikus, dan jurnalis film, Pemerintahan Orde Baru  terkenal dengan kontrol negara  dan penyensoran di berbagai aspek, termasuk dalam industri film. Bersama para elit budaya, rezim Orba membingkai sebuah konsep “Film Nasional”, yang diproyeksikan  bisa merepresentasikan kebudayaan Indonesia “yang sebenarnya”, dengan menekankan “wajah Indonesia di layar perak” yang bersifat “film kultural edukatif”. (Sen 1992; Heider 1991, Jufri 1992, Said 1991). 

Sementara itu, di era yang sama, film-film eksploitasi yang penuh dengan kekerasan dan adegan sensual, diproduksi, didistribusikan, dan dieksibisikan. Film-film yang  ciri-cirinya secara umum bertentangan dengan konsep “film nasional” versi Orde Baru ini menjamur, khususnya antara 1978 dan 1995.

Yang menarik,  pemerintah secara resmi mengekspor film-film kelas B ini ke berbagai pasar film yang berasosiasi dengan festival film bergengsi, seperti Cannes dan Berlinale. Hal ini dilakukan dengan badan resmi,  Kelompok Kerja Tetap Promosi dan Pemasaran Film Indonesia di Luar Negeri, (Prokjatap Prosar)  yang beroperasi dari 1981 hingga 1983, yang   berusaha menjual film-film yang tergolong “film nasional” dan juga film-film eksploitasi   (Barker 2014, 12). Pada umumnya, film jenis terakhir yang paling laris di pasaran global. 
Mengapa Orba mengekspor film-film yang sesungguhnya ingin mereka hindari dan tak sesuai dengan konsep ideal mereka seputar “Film Nasional”?   Makalah ini akan menganalisa bagaimana dan mengapa Orde Baru, lewat Prokjatap Prosar,   mengekspor film-film eksploitasi yang di dalam negeri acap dikritisi dan dimarjinalkan. Dengan menganalisa dokumen-dokumen arsip (majalah, makalah, kebijakan),  makalah ini akan menginvestigasi bagaimana rangkaian kebijakan budaya yang paradoksal membentuk dan berdampak ke produksi dan sirkulasi global film-film eksploitasi transnasional di era 1980an hingga  2000an.

Bio:
Ekky Imanjaya adalah kandidat doktor di jurusan Kajian Film, University of East Anglia, Inggris Raya. Tesisnya seputar “Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema”. Ia juga dosen tetap jurusan film di Universitas Bina Nusantara.

 Ekky adalah salah satu pendiri Rumahfilm.org dan menulis di berbagai media popular seperti Kompas, Tempo, dan Rolling Stone Indonesia. Karya ilmiahnya dimuat, di antaranya, di jurnal Jump Cut, Asian Cinema,  Cinematheque Quarterly,  Colloquy, dan Cinemaya. Dia juga menjadi editor tamu di jurnal Plaridel : A Philippine Journal of Communication, Media, and Society untuk edisi khusus  “The Bad, The Worse, and The Worst: The Significance of Indonesian Cult, Exploitation, and B Movies”.

Beberapa bukunya: “Remaja Doyan Nonton:Why Not”,  “A to Z About Indonesian Film”.  Dia juga editor edisi Indonesia dari “Mau Dibawa Kemana Sinema Kita?”, dan bersama Diani Citra menulis satu bab untuk “Indonesian Women Filmmakers”. Tulisannya diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman (Südostasien,  2013) dan Mandarin (katalog Festival Film Taiwan, 2017).


Comments

Popular posts from this blog

10th ASEACC Conference: The Politics Of Faith, Spirituality, And Religion In Southeast Asian Cinemas